Naruto is Masashi Kishimoto's
Mawar Hitam © 2014 by MizuRaiNa
SasuSaku // AU //
< 1k words // Crime // Angst // Fictogemino // For #BiweeklyPromt4 // #5 of
#365StoriesProject
.
Selamat malam mawar hitam,
semoga kau terlelap dalam tidurmu …
.
“Kematian itu benar-benar indah.” Ucapan yang
sering diucapkan gadis itu, mengaung di gendang telinganya. Tapi gadis bersurai
merah jambu—yang penuh dengan darah hingga berubah warna semerah darah itu—tak
bisa apa-apa.
“Tak ada yang lebih memikat dari Mawar Hitam yang dilumuri cairan merah
kental.” Pemuda itu menyeringai. Mata belati yang digenggamnya terpantulkan
oleh cahaya bulan purnama. Menikam perut yang terbungkus kain putih penuh darah yang menyelimuti tubuh gadis itu, lagi. Sang Pemuda
begitu menikmati detik-detik Sang Gadis meregang nyawa. Dengan tangannya
sendiri.
Bukankah Gadis
itu sendiri yang menginginkan kematiannya indah? Jadi, Pemuda satu-satunya yang
dekat dengannya itu akan mewujudkan keinginannya, impiannya.
Sang Gadis
berusaha tetap memasang senyum. Ia selalu memasang senyum itu ke manapun ia
berada. Semua orang yang pernah bertemu atau berinteraksi dengannya tak pernah menyangka
Mawar Putih yang berbingkai paras cantik, lugu, santun, dan suara lembut
mendayu selalu dipuji kaum Adam ini sebenarnya adalah Mawar Hitam beracun penuh
duri. Merenggut banyak nyawa dengan belati mungilnya. Kecuali pemuda satu ini,
pemuda yang selalu mengawasi gerak-gerik ke mana ia melangkah.
“Tenang saja, aku juga akan menikmati detik-detik kematianku sendiri.” Pemuda itu menjilat ujung belati lalu menikam-nikam ringan pada paha
Sang Gadis. Sesekali merobek gaun putih yang menyelimutinya.
“Uhuk—bunuh saja
aku … uhuk, aku … sudah tak ingin … hidup di dunia yang keji uhuk ini lagi.”
Sorot mata emerald itu kosong. Seulas senyum ambigu terlukis di bibir
tipisnya.
Darah semakin
banyak mengalir, bercucuran dari jaringan kulit dan otot yang terkoyak, menutupi
tubuh yang tergeletak tak berdaya di lantai hitam penuh debu. Tapi itu tak
seberapa jika dibandingkan dengan luka menganga yang tak bisa mengering di
hatinya akibat kehidupan keras yang begitu menyiksa.
“Begitu?” Iris hitam pemuda itu berkilat. Tangannya yang menggenggam
sebilah belati menghujam perut gadis itu beberapa kali.
“Akh!” pekik gadis itu setengah tertahan karena menggigit bibir bawahnya.
Ia tersenyum pahit. “tak ada gunanya—uhuk keberadaanku di dunia ini.” Bibirnya melengkungkan
seulas senyum, senyum yang biasanya memikat siapa pun yang melihatnya itu kini
bercucuran darah.
“Lalu?” Pemuda itu mengangkat belati yang digenggamnya tinggi-tinggi.
Tetesan-tetesan darah mengalir, menetesi wajah gadis itu. Ia menikamkan ujung belati
pada punggung tangan gadis itu.
“Uhuk … aku—uhuk lelah. Aku lelah dengan semua ini,” ucap gadis itu pelan.
Hening sejenak.
“Kau tahu? Aku tak menyangka bisa menyentuh mata
ini, hidung ini, bibir ini.” Jemarinya menyentuh mata, hidung, dengan ujung belati
penuh darah yang digenggamnya. Meninggalkan luka-luka kecil yang tak seberapa. “jemari
lentik yang lihai memainkan belati ini.” Ujung belati itu sesekali ia tekankan
hingga menusuk kulit dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah, “atau kulit
putih mulus ini.” Seringai itu semakin melebar, “bagaimana perasaanmu?”
Diam, mulutnya terkunci rapat. Pemuda beriris hitam kelam menyayat-nyayat bau amis darah yang menetes dari
sayatan-sayatan itu menguar dan terhirup oleh indra penciumannya. Sebuah
seringai terlukis di sudut-sudut bibirnya. “Kematian adalah sebuah karya seni.
Dan kau, adalah karya seniku,” gumamnya pelan, pada dirinya sendiri.
Gadis itu, terbujur kaku.
.
.
.
Gadis manis, kau akan selalu hadir dalam mimpi
burukku …
.
— Silakan baca dari bawah ke atas, dari
paragraf satu ke paragraf lain—
—FIN