#2 Silly Paper


.

Silly Paper © 2014 by Amacchi (MizuRaiNa)
Original fiction // Oneshot // Humor // Based true story // #2 of #365StoriesProject
..
Sebuah kisah yang menceritakan tentang kejailanku di kelas XII IPA 1, saat pelajaran biologi berlangsung ...
..
Tengah hari menjelang jam-jam istirahat kedua itu bener-bener sesuatu. Iya, panas banget—sialnya AC di kelasku belum ada karena kelas atas baru di bangun beberapa bulan lalu. Belum lagi Bu Widi masuk di menit-menit terakhir satu jam pelajaran biologi. Padahal sekalian aja ga usah masuk, terus baru masuk lagi nanti setelah jam istirahat. Pelajaran biologi di hari selasa itu tiga jam dan yang satu jamnya terpotong jam istirahat. Duh, mana perut keroncongan begini lagi.

Kulirik Rikrik yang duduknya di meja sebelah mejaku. Seperti biasa, ia terkantuk-kantuk. Aku sendiri sampai heran dengan pemuda yang susah serius itu sering sekali tertidur di kelas. Kata temannya sih, dia tidur malah lebih awal—sekitar jam delapan—dan tetap aja di kelas tertidur sampai-sapai beberapa kali mendapat teguran manis alias sinis dari guru-guru.

Sekarang aku juga mengantuk, sih. Penjelasan Bu Widi tentang teori kehidupan dan homologi apalah itu memang membuat kelopak mataku berat untuk tetap terbuka. Aku menghela napas bosan. Apa yang bisa kukerjakan ya?

Pandanganku secara asal mengamati teman sekelasku. Ada yang memainkan ponsel, mencurat-coret di buku, memainkan laptop—teman sebangkuku dan tiga yang lainnya. Ugh, andai hari ini aku bawa laptop aku juga pasti lebih memilih menonton anime atau internet-an, sayangnya tidak—, ada yang benar-benar memperhatikan penjelasan Bu Widi, dan lainnya. Intinya, mayoritas sibuk dengan dunianya masing-masing.

Kutopang dagu dengan tangan kiriku. Tak sengaja, aku melihat sebuah double tip di atas meja Sonia yang duduk di pojok kelas—aku duduk di banjar ketiga dan meja ketiga dari pintu masuk. Aha! Aku tahu sesuatu.

“Nia, minta double tip-nya ya,” kataku. Sonia tak menjawab. Ia serius dengan blackberry yang di simpan di balik buku catatannya. Toh emang double tip itu bekas praktek kimia dan aku sekelompok dengannya.

Aku mencari-cari kertas kosong di kolong meja. Sayangnya tak ada. Ada juga daftar absensi kosong yang biasanya ditulisi sekertaris dua—Revi, teman sebangkuku—yang isinya kepemilikan nomor bangku ketika pergiliran tempat duduk.

Kutempelkan double tip di kertas absensi, dan kutempelkan dengan amat pelan ke punggungnya Revi. Untung saja dia tak menyadarinya karena sedang asyik melihat-lihat youtube. Sip, kertas absensi itu dengan sukses menggantung di punggungnya. Aku terkikik geli dalam hati. Latifah dan Riza yang duduk di belakangku juga tertawa pelan—langsung saja aku menempelkan telunjuk di bibirku, sebagai isyarat agar mereka diam.

“Hapus dong papan tulisnya. Siapa yang piket sekarang?” tanya Bu Widi tiba-tiba.

“Revi wuuu Reviiii!” seru Wisnu yang duduk di depan. Padahal mereka berdua itu piket di hari yang sama. Yah, semua orang juga sudah tahu keakraban dua sejoli itu yang bareng-bareng terus sejak MOPD.

“Revi, maneh teh can piket ti isuk—kamu tuh belum piket dari pagi,” ujar Wisnu cukup lantang. Revi mengepalkan tangannya pada Wisnu, tapi tangannya langsung turun dan bibirnya membentuk sebuah cengiran saat Bu Widi mengarahkan pandangan padanya.

“Ayo, Revi, hapus. Hmm, malah diem aja.” Setelah mengucapkan itu, dering ponsel Bu Widi terdengar nyaring. Bu Widi berjalan keluar kelas sembari mengangkat telepon, sedangkan Revi men-sleep netbook-nya dan mulai berjalan ke depan kelas.

“Buahahahaha!”

“Hahahaha!”

Tawa seketika merebak saat Revi mengambil penghapus papan tulis. Rikrik sampai-sampai terbangun dan ikut tertawa melihat Revi yang kebingungan karena anak-anak kelas yang menertawakannya—ekspresi kantuknya bahkan sudah tak terlihat lagi. Aku yang mengerjainya masih tertawa bahkan memukul-mukul meja. Aduh Revi, maafkan aku kau menjadi bahan tertawaan.

Naon sih naon?—apa sih apa?” tanya Revi penasaran.

Di tukangen maneh geura tempo!—coba lihat di belakang kamu!” seru salah seorang—aku tak tahu siapa, yang jelas suara laki-laki. Langsung saja ia meraba-raba punggungnya dan menarik kertas absensi yang menempel itu. Ia mengangkat penghapus bor dengan menatap tajam ke arahku. Ampun Vi, jangan bunuh aku!

“Lho? Dihapus Revi, atuh bor masih camberong kitu—kok bor-nya masih kotor gitu,” kata Bu Widi yang baru masuk kelas. Revi nyengir, lalu mulai menghapus tulisan-tulisan teori Darwis, Lamark, dan lain-lainnya.

Lulu Lukita—juara kelas sejak kelas sebelas—bertanya, Bu Widi langsung saja menghampiri meja Lukita di meja paling depan dekat pintu masuk. Kesempatan berbising ria bagi bangku-bangku di barisan belakang. Biasanya Bu Widi dan Lukita berdiskusi suka lama.

“Naz, eta double tip saha? Menta—itu double tip siapa? Minta.” Rikrik langsung mengambil double tip yang ada di mejaku, menyobeknya agak panjang.

Setelah Revi selesai menghapus bor dan kembali ke bangkunya, ia langsung menempelkan kertas absensi itu ke punggungku lalu mencekekku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. “Ampun Vi, wahahaha aku ga sengaja,” kataku, berusaha mengendurkan cekikannya—yang lumayan sakit itu.

“Awas kau Nazma. Engke kuuing dibalas maneh—nanti sama aku dibalas kau.” Aku terkekeh geli. Iya, iya, terserah kamu deh. Mau ngebales juga aku bisa saja mengecek punggungku haha.

“Mana double tip-nya?” tanya Revi. Duh, ia juga bakal ngejailin? Mesti waspada ini.

“Tuh di Si Rikrik,” kataku, menunjukkan benda di atas buku paket biologinya Rikrik.

“Ambilin sih.” Eh ini anak malah nyuruh. Iya deh, aku ambilin.

Aku mencoba melihat apa yang Revi tulis. Isinya; aku orang gila baru, kenalan dong! Pelis, jangan sampai itu kertas nempel di punggungku.

Revi cengar-cengir sembari menghadap ke arahku. Ohoho, aku tak akan membiarkanmu menempelkan kertas itu, Vi.

Secara asal, aku memperhatikan teman-temanku. Ternyata mereka juga melakukan hal yang sama—menjaili orang dengan menempelkan secobek kertas di punggungnya. Bahkan Nadya—duduk di samping Revi yang biasa di panggil Bu Haji itu—menempelkan penggaris potong yang panjangnya sekitar tiga senti ke kerah baju Tiar, Sang KM yang notabene juara kedua.

Tiar tak bereaksi apapun. Nadya yang melihat itu terkikik pelan, aku juga jadi ikut-ikutan terkikik geli. Idih, Ketua Kelas emang lagi serius baca buku paket.

Tangan Rikrik yang menjulur ke mejaku menarik perhatianku.

Pluk

Sekali, Rikrik menepuk punggung Gina yang duduk di bangkuku dengan pelan. Gina tak menoleh ataupun meraba punggungnya. Ia memang tipikal pendiam dan gak begitu akrab dengan teman sekelas. Rikrik tertawa hanya membuka mulutnya lebar-lebar, tanpa bersuara. Aku juga tertawa pelan.

Pluk

Kedua kalinya Rikrik menepuk punggung Gina. Tapi lagi-lagi ia tak menanggapi. Rikrik memberi isyarat padaku untuk menepuknya.

Pluk

Giliran aku yang nepuk, aku tak bisa menahan lagi tawaku. Gina menoleh padaku, hanya sekilas. Tapi setelah itu ia kembali menekuni buku paketnya.

Rikrik mengambil kertas yang sudah ditempeli double tip itu lalu menempelkannya seperti dua kali sebelumnya. Berhasil. Gina masih tetap diam saja. Aku membaca secarik kertas itu; aku cantik ya :=)). Smile-nya itu loh, bikin ngakak. Aku menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara tawa yang berlebihan.

Masih menahan tawa, aku menyandarkan punggungku ke kursi, dan merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Kulirik Revi, ternyata tangannya dia! Revi mendengus karena tak berhasil menempelkan kertas itu ke punggungku dan mengambil kertasnya kembali. Ia mencari ‘sasaran’ lain yang bisa ia kerjai.
Tak tahan melihat kertas di punggung Gina—aku dan dia cukup akrab—aku berkata padanya, “Gin, itu di punggungmu ada tulisannya.”

Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kasar kertas itu. Wajahnya juga kusut banget. Waduh, dia kayaknya marah nih. Jangan sampai dia marah padaku. Nanti gak ada temen yang bisa kuajak ke perpus deh.

Rikrik mencoba memakai taktik yang sama pada Ilmi—perempuan yang duduk di depannya. Tapi kali ini pada tepukan kedua ia menempelkan kertas itu. Dan Ilmi juga diam saja. Kubaca rentetan kalimat yang tertera di sana; Ibu-ibu, bapak-bapak, aya nu gaduh piring pepeus? Wartosan Abdi nyah. Bisa dituker jeung gelas cantik—Ibu-ibu, bapak-bapak, ada yang punya piring pecah? Kasih tahu saya ya. Bisa ditukar dengan gelas cantik.

Sumpaaahhh. Aku ga kuat. Perutku melilit ingin mengeluarkan tawa meledak. Tapi sebisa mungkin menahannya karena Bu Widi masih ada di kelas ini. Ilmi langsung menoleh padaku dan memeriksa punggungnya. Ups, ketahuan. Ia membaca kertas itu, langsung membalikkan tubuhnya menghadap Rikrik sembari tertawa dan memprotes kenapa menempelkan kertas itu padanya.

Suara langkah kaki Bu Widi samar-samar kudengar. Aku sekuat mungkin menahan tawa dan mendatarkan raut wajahku. Apa jangan-jangan, diskusi Bu Widi dengan Lulu udah selesai?

“Ilmi, Rikrik aya naon?—ada apa?” Tuh, ‘kan? Apa kubilang? Sontak mereka mengalihkan pandangan pada Bu Widi.

“Ini Bu, Rikrik-nya,” kata Ilmi dengan nada kesal.

Bu Widi sepertinya melihat kertas yang dipegang Ilmi. “Mi, siniin kertasnya.” Beliau membaca sembari berdecak dan menggeleng-gelengkan kepala, menaruh sobekan kertas itu di mejanya Tiar dan Gina.

“Rikrik, teu tunduh nya? Sakalina cenghar eh malah heurey—gak ngantuk ya? Sekalinya gak ngantuk malah bercanda. Rikrik, Rikrik.” Bu Widi menggeleng-geleng pelan.

“Hehehehe.” Rikrik hanya nyengir gaje, merasa benar apa yang dikatakan Bu Widi, mungkin?

Aku terkekeh pelan. Duh, sial banget sih Rikrik ini. Gilirannya yang ngejailin orang, malah ketauan.

“Nazma kenapa? Ada yang mau ditanyain?” Lho, lho? Bu Widi nanya padaku?

Aku menggeleng. “Nggak Bu, nggak.”

Bu Widi tersenyum dengan senyuman yang sulit diartikan. Ia berjalan ke depan kelas. “Sudah paham yang ibu jelaskan tadi?”

“Sudah Buuuu!” jawab kami serempak. Jawaban yang seharusnya ‘tidak’.

Bu Widi berjalan menghampiri meja Guru, mengambil buku-bunya. “Sekarang istirahat dulu, ntar dilanjutkan lagi setelah istirahat. Pisss.” Trade mark Bu Widi setelah pelajaran selesai—mengucapkan peace dengan dua jari membentuk huruf V.

Peace!” jawab kami lagi-lagi serempak.

Aku merapikan buku-buku biologi, memasukkannya ke dalam kolong meja.

“Tah, gara-gara Si Nazma nu mimitianna. Provokator wuuu!” seru salah seorang temanku.

“Biarin, wee!” jawabku sembari tertawa.

Daripada suntuk, bosan, atau ngantuk mending ngejailin orang haha.
.
.
.
FIN
Based true story. Namanya pun ga ada yang diubah sama sekali. Jadi saya mau ngakak dulu ya XD #krik
Pelisss, kalo duduk deketan sama Revi, Wisnu, Rikrik atau Rizki—waktu ini dia duduk di depan—gak bakal bisa konsen deh. Ribut mulu. Apalagi kalo Revi duduknya deketan Caca, Rikrik deketan Jessie XD #syudahnak
Yah, nggak tahu mau ngomong apa lagi. Semoga ga garing ya hihi xD
Review? :D
.
Regards,

Amacchi

Your Reply