#6 Silently


.

Naruto is Masashi Kishimoto's
Silently © 2014 by MizuRaiNa
SasuSaku // AU // (implicit) Romance // Hurt // Friendship // #6 of #365StoriesProject
.
Love is just like …
How the leaves falling silently when autumn was come
.
Aku tak tahu ini sudah keberapa kalinya aku mencuri pandang ke arahmu. Sejak tak ada lagi siswa-siswi yang mengunjungi perpustakaan, manikku seolah ingin mengarah padamu. Bahkan ketika aku merapikan buku-buku, lagi-lagi aku melempar pandanganku ke arahmu. Apakah aku hanya memastikan kamu masih terlelap dalam tidurmu? Well, aku sendiri tak tahu alasannya.

Selesai membereskan ruangan perpustakaan sekolah, aku duduk di hadapanmu dengan amat pelan dan hati-hati. Tentu saja aku tak ingin membuat kegaduhan. Aku termangu beberapa detik saat mengagumi raut wajahmu yang begitu tenang dan damai.

Kamu, yang biasanya menampakkan ekspresi datarmu, apakah menyembunyikan gurat-gurat kesedihan karena teramat berat beban hidupmu?

Kamu, yang dikenal semua siswa dengan sebutan anak brandal, apa kamu tak sebrandal yang orang-orang katakan?

Entahlah. Karena aku tak tahu banyak tentangmu. Yang kutahu, kamu adalah anak dari seorang direktur perusahaan ternama di Jepang. Kamu selalu menjadi juara umum, kebanggaan sekolah dan guru-guru di sini. Tapi selain itu, kamu terkadang mendapat masalah dengan sensei, senpai, kouhai, bahkan katanya kamu bergabung dengan gangster yang amat ditakuti di Kyoto. Benarkah? Ah, lagi-lagi pertanyaan itu tak akan terjawab.

Lamunanku buyar seketika mendapati kamu menggerakan bibirmu—yang entah bergumam apa—dan Hei, lihat! Bahkan kamu menarik sudut-sudut bibirmu! Aku jadi tak tega untuk membangunkanmu yang sepertinya sedang terbuai dalam mimpi indah. Aku menggeleng pelan. Tapi ini sudah malam. Perpustakaan sekolah akan ditutup jam delapan malam dan sekarang sekitar tujuh menit lagi jarum jam panjang itu akan mengarah tepat ke angka dua belas.

Perlahan, aku mengguncang pundakmu, “Uchiha-san.” Kamu mengangkat wajahmu dan kelopak matamu terbuka, menampakkan iris hitammu yang sesaat membuatku terpaku. Aku sedikit gelagapan melihat alismu terangkat—mungkin kesal dan heran karena aku membangunkanmu. “Gomennasai Uchiha-san. Perpustakaan akan segera ditutup.”

Kamu berdecak pelan dan menatap tajam padaku. Sontak, aku mengalihkan pandanganku, tak berani menatap manik obsidianmu yang saking tajamnnya seakan dapat menusuk ulu hatiku—oke, ini terlalu berlebihan.

Bangku yang kamu duduki berdecit. Aku masih tak berani memandang ke arahmu. Samar-samar, aku mendengar langkah kaki menjauhi ruangan ini. Kamu telah pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Seperti biasanya.

Aku bergegas melangkahkan kaki untuk keluar perpustakaan ini. Part-time-ku telah selesai. Aku harus pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah untuk besok. Aku mendesah mengingat pelajaran besok adalah pelajaran sastra Jepang dan matematika. Malam ini sepertinya aku harus lembur.

Angin malam membelai wajahku dan menerbangkan beberapa helai rambutku. Dinginnya malam di musim gugur amat menusuk kulit. Aku mengeratkan jaket yang kupakai. Musim gugur saja dinginnya seperti ini, bagaimana jika musim dingin nanti? Aku tak ingin membayangkan hal yang belum terjadi. Yeah, aku tetap harus bekerja part time untuk membantu keuangan Okaa-san. Setidaknya, dengan tak membebani biayaku di SMA ini.

Tak terasa aku hampir sampai di dekat gerbang. Sepanjang mata memandang di samping kiri dan kananku, aku melihat lampu-lampu menyala terang. Pandanganku secara asal mengamati pohon maple yang berjejer tak jauh dari lampu-lampu itu. Dapat kulihat beberapa daun maple meranggas dan berjatuhan. Secara tak sengaja, aku melihat siluet seseorang sedang mengangkat tangannya di bawah salah satu pohon itu. Seperti sedang menunggu helai daun jatuh ke atas telapak tangannya. Siapa dia? Apakah itu kamu? Atau …?

Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Langkah kakiku kupercepat sebisa mungkin. Bayangan tentang makhluk yang suka berkeliaran di malam hari berkelebat silih berganti di otakku. Oh, ayolah, tak mungkin 'kan?

Aku mengalihkan pikiranku pada hal lain. Yang kudapatkan malah perutku yang bersuara. Aku teringat sesuatu! Di apartemenku tak ada makanan yang bisa kumakan dan rasa lapar menghampiriku. Aku putuskan untuk membeli dulu makanan di minimarket yang tak jauh dari sini.
.
.
.
Suasana malam ini benar-benar sepi. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah jam sembilan malam lebih lima menit. Pantas saja jalan kecil ini tak seramai biasanya. Aku mengeratkan tanganku yang menggenggam bahan-bahan yang tadi kubeli sepulang dari sekolah.

Prang!

Aku mendengar suara botol pecah di gang yang akan kulewati. Detik kemudian, aku tahu mengapa botol itu pecah. Di depan sana, tiga orang laki-laki berjalan sempoyongan menuju ke arahku. Mereka saling berebut botol minuman keras dengan diselisingi tawa membahana, memecah sunyinya malam.

Kakiku bergetar. Apa yang harus aku lakukan? Berteriak? Aku tak mungkin membangunan banyak warga yang terlelap dalam tidurnya. Pura-pura tak melihat mereka dan melanjutkan jalanku? Atau berbalik, mencari jalan lain untuk menghindar?

Hingga jarak mereka tinggal beberapa langkah dariku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya tubuhku dipaku di tempat saat ini juga.

Aku memejamkan mataku, tak berani melihat mereka sedikitpun. Tanganku mengepal, kukuku memutih saking ketakutan. “Hai manis, main sama kita-kita yuk!”

Salah satu dari mereka mencolek daguku, dengan cepat kutangkis lengan itu. Walaupun kutahu tubuhku gemeraran, aku masih bisa menyingkirkan lengan tak tahu adab itu.

“Tch! Aku tidak mau!” pekikku tak terima.

Lengan kawan yang lainnya—atau entah masih tetap yang tadi—meraih pergelangan tanganku yang memegang plastik belanjaan. Sontak, aku semakin mempererat genggaman tanganku.

“Ayolah, kau pasti menyukainya.”

“Hei cantik, jangan coba menolak atau kau akan merasakan akibatnya.”

Kedua tanganku kini dicengkram oleh orang yang berbeda. Satunya lagi, memegang daguku hingga aku tak bisa berkata-kata. Bulir-bulir bening tak kuasa kubendung lagi. Aku menggigit bibirku agar suara tangisku tertahan, paling tidak tak bersuara. Kami-sama, bantu aku … kumohon siapapun datanglah.

“Tidak akan sakit k—”

Bugh

Prang

Menit kemudian terdengar hantaman-hantaman yang saling beradu. Suara botol-botol pecah menyusul suara hantaman itu. Tubuhku melemas. Kresek bahan makanan yang kupegang mengendor dan jatuh. Apa yang terjadi? Aku memberanikan diri membuka mataku. Dapat kulihat dengan jelas seorang lelaki tengah menghajar tiga orang tadi. Jadi, ada yang menolongku? Tangis ketakutan berubah menjadi tangis haru.

Aku memerhatikan perkelahian mereka. Satu orang telah terkapar di belakangnya. Aku ingin menjerit saat penolongku—lelaki yang tiba-tiba datang itu—hendak dihajar oleh lelaki yang terkapar di belakangnya itu. Jeritanku tertahan di kerongkongan karena dengan sigap ia membalikkan tubuhnya dan menahan lengan lelaki brengsek itu lalu meninju perut lawan sampai kembali terkapar.

Merasa tak ada lagi lawan yang tersisa, ia berhadapan denganku dengan jarak lebih dari tiga meter. Aku tak dapat melihat siapa sosok itu. Penerangan di sini hanya cahaya bulan. Lampu-lampu dari rumah penduduk baru ada setelah gang asal datangnya tiga lelaki tadi.

Aku menelisik ia yang hanya diam tak bersuara. Nihil. Aku tak dapat menebak siapa. Yang kudengar, ia mengatakan satu kata yang membuatku tercengang tak percaya.

“Pulanglah.”

Suara itu.

Suara kamu.

Hei, jadi kamulah Sang Malaikat Penolongku?

Aku masih membatu ketika kamu membalikkan tubuhmu dan melangkah berlawanan arah denganku. Aku ingin sekali mengucapkan terima kasih dengan berteriak atau menyusulmu. Tapi aku tersadar, dua pilihan tadi tak ada yang tepat. Jika aku menyusulmu, aku harus melewati tiga lelaki itu. Samar-samar, bibirku mengucapkan satu kata untukmu.

Arigatou.
.
.
#
.
.
Aku menghela napas keras-keras. Sungguh sial aku hari ini. Tadi pagi dihukum membersihkan aula karena terlambat. Dan sekarang aku dikeluarkan dari kelas gara-gara tak mengumpulkan tugas. Well, tadi malam aku tak sempat mengerjakan tugas karena terbayang kejadian itu dan akhirnya malah tertidur—bahkan aku belum makan malam.

Kutengokkan kepalaku ke arah perpustakaan. Berpasang-pasang sepatu berjejer di teras depan dan rak perpus. Sepertinya ada rombongan belajar. Tak enak rasanya menenangkan diri di sana dengan suasana bising tak karuan. Bisa dibayangkan sensei-sensei sedang menerangkan, murid-murid berdiskusi, atau bahkan, banyak yang mengobrol tak jelas. Alternatif lain yaitu mencari tempat lain saja.

Hm … aku tahu. Tempat di belakang gedung lab-lab IPA sepertinya nyaman. Lab-lab biologi, fisika, maupun kimia jarang digunakan. Aku bisa bersantai-santai di bawah pohon momiji yang berguguran. Teduh, nyaman, menentramkan pula.

Aku mengangguk kecil. Sudut bibirku tertarik ke atas ketika membayangkan duduk-duduk di atas rumput hijau yang bertaburan daun momiji dengan semilir angin membelai wajahku. Ah, nyaman sekali.

Saat langkahku sudah mencapai belakang lab, aku berbelok dan berjalan dengan langkah pelan, mengamati daun-daun momiji yang berguguran tertiup angin. Ketika aku melihat ke bawah pohon, aku terenyak. Langkahku seketika terhenti karena aku melihat seseorang sedang terbaring dengan kelopak mata tertutup. Ya, itu kamu.

Yang membuat bola mataku melebar adalah … pergelangan tangan kananmu dipenuhi cairan kental berwarna merah. Aku tak tahu itu apakah darah itu sudah membeku atau belum.

Bulu kudukku seketika meremang. Apa yang kau lakukan? Apa kau berniat … membunuh dirimu sendiri?
Aku melangkah mundur dan—

—krek

Sungguh, aku tak tahu sejak kapan ranting-ranting ini ada di belakangku? Ah, aku tadi memang tak melihat apa saja benda yang ada di sekitar kakiku melangkah. Lupakan masalah sepele ini. Yang lebih penting, saat ini kau membuka matamu. Menatapku dengan tatapan tajammu.

Jantungku seketika berpacu cepat. Apa yang harus kulakukan sekarang? Pergi dari sini seolah tak melihat apa-apa? Atau aku menghampirimu? Pilihan pertama tak mungkin, dan pilihan kedua lebih tak mungkin lagi. Apa yang akan kukatakan jika aku menghampirimu? Berteriak 'kyaaa' karena melihat pergelangan tanganmu berlumuran darah? Ha. Itu bodoh sekali.

“Pergilah,” ucapmu dengan tatapan tajam kau lemparkan padaku. Dingin dan acuh tak acuh.

Bukannya mendengarkan perkataanmu, aku malah melangkah maju menghampirimu. Entah dorongan dari mana aku mendapat keberanian seperti ini. Hei, mungkin saja 'kan kamu tanpa ragu-ragu menghabisiku? Rumor mengatakan kau orang yang bengis. Yeah, aku tak tahu juga sih karena belum mencobanya.

“Boleh aku ikut berteduh di sini?” tanyaku padamu, berusaha menampakkan senyum senormal mungkin. Walaupun aku tahu senyumku terlihat kaku.

Kau melirik padaku sekilas, mendengus. Detik kemudian, kau mendudukkan dirimu sehingga bersandar pada dahan pohon. Lenganmu yang berlumuran darah itu kau sembunyikan di samping pinggang kirimu—aku duduk di samping kananmu. Rumput-rumput di sekitar lenganmu tadi masih tersisa remah-remah darah yang telah menggumpal dan membeku.

“Kenapa … kau mengiris lenganmu sendiri?” Sebuah pertanyaan yang seharusnya kusimpan dalam pikiranku saja. Aku merutuki kebodohanku sendiri yang melemparkan pertanyaan itu. Memangnya siapa aku? Bukan siapa-siapanya kamu. Tak seharusnya aku menanyakan hal pribadi seperti itu.

“Bukan urusanmu.” Kini nada bicaramu lebih dingin dan ketus dari sebelumnya.

Aku memejamkan kelopak mataku. Embusan angin musim gugur membelai wajahku dan menggoyangkan helai-helai rambutku. Bibirku melukiskan seulas senyum getir. Baiklah. Jika kau memang tak mau aku mencampuri urusanmu, aku tak keberatan. Asalkan aku bisa lebih dekat denganmu. Asalkan aku bisa lebih banyak mengobrol denganmu. Asalkan aku … bisa berteman denganmu. Kau tahu? Sudah lama aku ingin mengenalmu ...
.
.
#
.
.
Sudah hampir seminggu aku banyak menghabiskan waktu istirahat di belakang laboratorium IPA. Selama seminggu itu, aku hanya menjumpaimu beberapa kali. Bertemu denganmu di perpustakaan aku tak menghitungnya karena aku akhir-akhir ini sibuk mendata buku-buku baru dan kau datang atau pulang seringkali tanpa sepengetahuanku.

Kalau tidak salah, dua kali aku menjumpaimu di halaman belakang lab IPA. Dengan keadaan yang sama seperti sebelumnya. Kau tertidur—atau mungkin sengaja tidur—dengan pergelangan tangan bercucuran darah.

Hari Sabtu ini ketiga kalinya aku bertemu denganmu di tempat seperti biasanya. Tapi kali ini aku lebih dulu datang. Aku hanya memasang seulas senyum simpul saat kau mendudukkan dirimu di sampingku, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kutangkap dari raut wajahmu seberkas kegelisahan dan kegundahan. Ataukah itu sebuah kesedihan? Penyesalan? Aku tak tahu pastinya.

Kepalaku menggeleng pelan. Aku berbisik pada diriku sendiri, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Ketika aku hendak memejamkan mataku, aku teringat sesuatu. Sebuah kemungkinan yang selama ini selalu menghantui pikiranku. Apa kamu ke sini … hendak menyayat pergelangan tanganmu itu? Untuk ke sekian kalinya?

Diam-diam, aku mencuri pandang ke arahmu. Sudut-sudut bibirmu melukiskan sebuah senyum hambar yang tipis. Kau mengangkat tangan kananmu, mengamati pergelangan tanganmu sendiri. Hampir saja aku memekik saat kulihat bekas luka itu masih basah, belum mengering. Apa selama ini, kau tak pernah membiarkan luka itu mengering?

“Sas—Uchiha-san, apa luka itu tak apa-apa?” Sontak aku berjongkok di hadapanmu, mengambil lenganmu secara paksa dan mengamati luka bekas sayatan memanjang di pergelangan tanganmu itu.

“Tch! Jangan pegang aku. Apa kau tak takut denganku?” Aku tersentak saat kau membentakku dengan nada tinggi dan tanganmu itu melepaskan genggaman tanganku secara kasar. Dalam hitungan detik, aku sedikit terjungkal ke belakang sehingga pantatku menyentuh tanah—untung saja tangan kiriku refleks menyembingkan posisi dudukku. Aku sedikit mengaduh dan meniup-niup telapak tangan kiriku yang bergesekan dengan akar pohon maple yang cukup besar.

Oh ya, tadi kamu bilang apa? Aku takut denganmu?

Iie. Aku sama sekali tak takut denganmu. Untuk apa aku takut?” Aku mengulum senyum. Iris jade-ku menatap iris obsidiannya. Kelam, gelap dan … suram. Apa sebenarnya yang kau khawatirkan atau membuat sorot matamu sebegitu kelamnya?

“Terserah,” jawabmu. Kau mendengus pelan lalu mengalihkan arah pandangmu dari mataku.

Aku menghela napas. Kau benar-benar dingin. “Apa kau … lelah dengan kehidupan yang kau jalani?”
Sungguh, aku hanya menebak-nebak saja. Aku tak menyangka reaksimu akan sebegitu terkejutnya sampai-sampai ekspresimu yang biasa datar itu kini tampak bertanya-tanya.

“Maksudmu?”

Tiba-tiba lidahku kelu. Apa yang harus kukatakan?

Bayangan kehidupanmu memenuhi sel-sel otakku. Tentang kau yang hidup di keluarga mapan, serba berkecukupan dan memiliki orang tua dengan karier sukses. Tentang kau yang selalu menjadi juara umum di sekolah elit ini. Tentang kau yang selalu menjadi idola siswa-siswi dan kebanggaan guru-guru di sini.

“Ada kalanya seseorang membenci kelimpahan harta. Ada kalanya seseorang tak menyukai dirinya yang selalu menjadi kebanggaan banyak orang. Ia … bisa saja lelah dengan semua itu, yang hanya menjadi beban berat di pundaknya.” Aku tersenyum getir. Beberapa orang terkadang lebih memilih hidup bahagia dengan kehidupan sederhana. Ada juga yang lelah dengan reputasi yang telah diraihnya.

“Bertahan itu sulit,” katamu, dengan suara pelan.

Aku mengangguk menyetujui.

“Aku tahu. Aku juga pernah merasakan di posisi seperti itu. Kau akan dihantui rasa takut ketika seseorang sedikit saja melampauimu. Kau takut, ia menggantikan posisimu.”

Mataku yang semula terpejam kini melirik ke arahmu, menelisik ekspresi yang terlihat di wajahmu. Dahimu sedikit berkerut. Bibirmu sedikit terbuka seakan hendak berkata, namun kedua belah bibir itu mengatup kembali.

“Aku … entahlah.” Aku bisa menangkap nada keraguan dalam intonasimu. Apa kau tadinya hendak mengatakan apa yang kau rasakan selama ini, ne?

“Boleh 'kan aku memanggilmu Sasuke-kun?” tanyaku. Aku ingin lebih akrab dengannya. Memanggil dengan marga itu benar-benar formal.

Kau tak menyahut. Berarti kau tak menolaknya ‘kan?

Aku menghubungkan kemungkinan-kemungkinan dari pembicaraan singkat ini dengan kau yang menyayati pergelangan tanganmu itu. Aku tahu sesuatu. “Jika dugaanku benar, kau mencoba menghilangkan bebanmu dengan menyakiti dirimu sendiri?”

Beberapa saat, kau menoleh ke arahku. Kau mengangkat tangan kanannya, melihat luka di pergelangan tanganmu. Seulas senyum getir yang tipis tampak di bibirmu. “Ini lebih baik daripada mengonsumsi yang tidak-tidak.”

Aku menggeleng pelan. “Keduanya bukan hal yang baik, Sasuke-kun.” Jeda sejenak. Aku mengambil napas pendek, lalu melanjutkan perkataanku. “kau bisa saja … membagi masalahmu dengan orang lain.”

Sedikit harapan muncul di hatiku kau bisa menjadi temanku.

Kau berdecak kesal. “Tak ada yang bisa kupercaya.”

Apa kau ... pernah dikecewakan oleh temanmu? Atau bahkan dikhianati? Aku tak tahu. Aku hanya tak ingin, kau terhanyut dalam masalahmu dan tanpa sadar kau menyakiti dirimu sendiri sampai-sampai—aku berdoa jangan sampai ini terjadi—terbesit dalam pikiranmu untuk mengakhiri hidupmu.

“Kalau kau mau, aku bisa menjadi temanmu. Aku tak akan membicarakan rahasia kita kepada siapapun. Aku bisa mengunci mulut, tenang saja.”

Kau menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Bagaimana?” tanyaku. Kukulum senyum setulus mungkin.

“Hn.” Dan, kau melemparkan sebuah silet dari dalam sakunya secara asal. Tubuhmu kau senderkan pada dahan maple.

Aku ... tak menyangka. Kau mengukir seulas senyum tulus—dengan raut wajah lebih tenang dan damai dari yang kulihat sebelumnya.

Aku ikut menyenderkan tubuhku di pohon momiji besar ini. Kepalaku sedikit menengadah, mengamati beberapa daun momiji yang secara perlahan tertiup angin lalu jatuh menyentuh tanah.

Ya, aku pun begitu. Secara perlahan, namun pasti. Aku akan lebih mengenal seorang Uchiha Sasuke. Menjadi temanmu, sahabatku, dan mungkin—

—ah tidak, menjadi sahabat dekatnya sudah cukup, kurasa.
.
.
.
.
.
FIN
(Gantung? Mungkin—masih mungkin lho ya—bakal ada lanjutannya)
Entah mau ngomong apa. Semoga kalian suka deh ya :”))
Plisss, yang baca komen ya ^^
.
Regards,

MizuRaiNa

Your Reply