Archive for 2012

Perumpamaan Aku dan Kamu


.


Perumpamaan Aku Dan Kamu © 2012
An Original Story by MizuRaiNa
.
Salah satu teori atom Dalton menyebutkan bahwa atom tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Begitupun dengan rasa yang ada padamu yang tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Itu karena rasa ini tumbuh dengan sendirinya dan tak mungkin untuk dihilangkan apalagi dimusnahkan.

Rasa ini padamu bagaikan jari-jari atom yang dalam suatu golongan akan terus bertambah dari atas ke bawah. Begitupun dengan rasa ini, akan terus bertambah dari hari ke hari.

Selain itu, rasa ini juga tak akan pernah berubah seperti Hukum Kekekalan Massa (Hukum Lavoisier) yang di dalam suatu reaksi kimia, masa zat-zat sebelum dan sesudah reaksi selalu sama.

Tidak ada pembatas diantara kita. Bukan seperti dalam stoikiometri yang memiliki pereaksi pembatas yang salah satu pereaksi dalam reaksi kimia itu habis bereaksi lebih dahulu sebelum pereaksi lainnya sehingga menghentikan atau membatasi reaksi.

Pengandaian dirimu dalam hidupku adalah ;

Kau bagaikan suatu elektronegativitas yang memiliki kemampuan untuk menarik diriku ke dalam suatu ikatan yang bernama cinta.

Menurut Hukum Newton I kau bagaikan gaya total dalam hidupku yang mampu merubah kehidupanku yang cenderung monoton.

The Raindrops


.


The Raindrops © 2012
An Original Story by MizuRaiNa
.
.
Tes tes tes...

Bulir-bulir hujan jatuh satu per satu membasahi tanah. Langit begitu gelap. Tertutupi oleh awan commulus yang telah bergumpal hitam dan menumpahkan bulir air ke bumi. Menurunkan hujan.

Hujan. Aku sangat suka hujan. Aku bisa menyaksikan bulir-bulir air yang terjatuh menikam bunga dan daun. Terkadang, bulir-bulir itu tertiup angin kencang atau perlahan-lahan. Hingga terlihat sedang menari. Terombang-ambing bersama bunga-bunga yang menari.

Saat ini aku juga tengah melihat hujan yang menari dengan indah di halaman rumahku. Duduk di kursi dengan nyaman—di depan sebuah meja. Menghadap jendela yang terbuka cukup lebar. Jemariku berkaitan satu sama lain—menopang dagu. Iris mataku memandang lurus ke depan.

Imajinasiku bergerak liar. Sungguh romantis jika bisa menari seirama dengan hujan dan bunga-bunga bersama seseorang. Saling berbagi kehangatan dalam hawa dingin yang begitu menusuk. Atau hanya sekedar bersamanya di bawah guyuran hujan dengan jemari yang saling bertautan.

Aku jadi teringat dengan awal perjumpaan kita. Perjumpaan di saat-saat bulir-bulir air menari. Bukan. Bukan pertemuan yang romantis seperti imajinasiku dalam file-file yang tersimpan di cerebrum-ku. Kita hanya duduk berdampingan dalam sebuah bus. Kau di samping jendela, sedangkan aku di sampingmu. Pandanganku selalu tertuju ke luar jendela. Melihat derai hujan menari dengan indah. Aku sedikit melirik dan memperhatikanmu—lebih tepatnya banyak. Kau begitu tampan dengan tatapan tajammu dan rambut hitam legam  membingkai wajahmu. Kulitmu putih juga bersih. Belum lagi tubuhmu memakai kemeja putih, dibalut dengan jas hitam. Saat itu aku mengira engkau pastilah orang penting dalam sebuah perusahaan.

Sayang. Sepatah kata pun tak keluar dari bibirmu. Raut wajahmu datar, tanpa ekspresi. Kau terdiam dengan duniamu sendiri. Untuk sekedar menyapa saat kau datang dan duduk di sebelahku pun tidak. Perjumpaan pertama kita hanya sekilas dan berakhir karena tempat yang aku tuju telah sampai. Diiringi pula dengan air hujan yang perlahan menipis dan berhenti.

Tak kusangka kita akan berjumpa kembali. Tapi di tempat dan waktu yang berbeda. Kita berjumpa di sebuah cafe. Aku datang ke cafe itu karena setelah aku pulang dari tempat kerjaku turun hujan dengan derasnya. Aku berinisiatif untuk menaungi diri dan menikmati secangkir kopi hangat. Ekor mataku memicing, mencari tempat yang nyaman. Saat itulah, aku melihat kau duduk di dekat jendela. Sendiri. Dengan sandang yang sama seperti dulu.

Aku duduk di meja samping dekat denganmu. Tak berani ikut duduk berdampingan atau berhadapan langsung dengan kau yang terdiam dengan secangkir kopi hangatmu. Seperti biasa, aku menatap rinai hujan yang menari. Dengan posisi menghadap ke arahmu dan jendela itu. Tapi pandanganku selalu ingin melirik ke arahmu. Mengamati lekuk wajahmu yang bisa dikatakan sempurna dimataku. Kau bagaikan sebuah magnet dan aku berada di daerah medan magnet.

Langit yang Sama


.


Langit yang Sama © 2012 by MizuRaiNa
Original Fiction // Oneshot // Romance // Hurt

Langit biru lambat laun berubah warna menjadi jingga lalu hitam pekat. Sang mentari telah bersembunyi untuk menerangi belahan dunia lain. Menyisakan warna hitam kelam sejauh mata memandang. Namun, ada seonggok rembulan yang menggantikan tugasnya. Bersama dengan jutaan kerlap-kerlip bintang yang turut menghiasi langit malam.

Aku terus menatap kumpulan rasi bintang di sana. Menyudahi kejenuhan dan kepenatanku karena berkutat dengan rumus-rumus elastisitas dan trigonometri. Aku membandingkan suasana tiga malam terakhir ini dengan malam-malam jauh sebelumnya. Sungguh berbeda.

Malam-malam lalu selalu dihiasi dengan canda tawaku bersamamu. Kau tahu, semenjak kau pergi dari kehidupanku, aku selalu termenung menatap langit kelam. Menyatukan titik-titik bintang dan membayangkan bintang-bintang itu membentuk wajahmu.

Aku rindu.

Rindu akan suaramu, wajahmu, tatapan matamu, candamu, tingkah lakumu, semua yang ada pada dirimu. Aku ingin kau berada di sini, di sampingku. Bersama melewati hari-hari. Bersama-sama mengerjakan berbagai tugas dari guru-guru di sekolah.

At the Café


.


Pertama kali aku melihatnya sekitar seminggu yang lalu. Ketika daun-daun meranggas dan terlepas dari tangkainya—musim gugur. Sejak awal aku melihatnya, aku berdecak kagum dengan penampilannya. Wajahnya yang dapat dikategorikan sempurna, pakaian kantor yang ia gunakan begitu rapi, disertai dengan aura dingin dan sikapnya yang tak acuh dengan orang-orang di tempat ini—dia selalu menampakkan wajah datarnya.

Ia memesan secangkir kopi hangat. Aku menatapnya lekat saat menyeruput kopi tersebut dengan kedua tangannya. Wajahnya tanpa ekspresi saat indra pengecapnya merasakan kopi itu. Tapi bisa dipastikan ia menikmatinya. Tanpa sadar aku terus mengamati gerak-geriknya. Aku merasa senang dan tentram saat menatap mata kelamnya.

Lamunanku buyar saat seorang pelanggan menghampiriku. Ia hendak membayar kopi yang telah ia minum. Setelah selesai, tak lupa kuucapkan rasa terima kasih disertai dengan senyuman. Pelanggan itu membalasnya dan pergi meninggalkan café ini. Aku menghela napas dan hendak melirik ke arah lelaki tadi. Tapi aneh, dia sudah tak ada di kursi pojok kanan ruangan ini.

Cappuchino.” Aku sedikit tersentak saat aku mendengar suara baritone dari samping kananku. Aku melirik ke arahnya. Dia... lelaki itu. Aku terdiam sebentar lalu memproses satu kata singkat yang ia ucapkan.
Transaksi dilakukan. Ia mengeluarkan sejumlah uang kepadaku. Aku menghitungnya. Ia memberikan uang pas.

“Terima kasih telah datang ke café kami.” Seperti kepada pelanggan lainnya, sudut bibirku tersenyum kepadanya—tulus. Manik giokku sempat bertemu pandang dengannya. Ia memiliki iris mata yang indah. Hitam pekat bak batu obsidian.

“Ya.” Ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Aku menatap punggunggnya yang semakin lama semakin mengecil lalu sosoknya menghilang karena ia telah keluar dari café ini.

At the Café © 2012
An Original Story by MizuRaiNa (Nazma/Ama)

Harapan untuk Menggapaimu


.


Harapan untuk Menggapaimu © 2012 by Amacchi
Original Fiction // Oneshot // Romance

Hari yang paling aku sukai adalah hari kamis—tentunya setelah hari minggu. Tahukah kalian mengapa aku menyukai hari ini? Tapi jangan salah kira. Bukan untuk memberikan sesajen atau sekedar membakar menyan. Aku tak pernah melakukan hal seperti itu. Itu kan malam jum’at. Yang aku maksudkan adalah hari kamis siangnya atau ketika malam kamis.

Aku beritahukan saja. Aku senang dengan hari itu karena dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang aku tak perlu susah-susah memeras otakku. Well, bukan berarti aku tak suka menggunakan sel-sel otakku. Melainkan aku terlalu jenuh dengan pelajaran-pelajaran yang menggunakan hitungan dan tentu saja terdapat banyak sekali rumus. Kalian juga banyak yang sependapat denganku kan? Nah, pelajaran-pelajaran di hari kamis untuk kelasku adalah TIK, KWN—biasa disebut PKN, PAI dan KTI—bahasa Indonesia.

Itulah faktor yang membuatku dengan senang hati menyambut datangnya hari kamis. Sehingga ketika malam kamis aku tak perlu repot-repot untuk mengerjakan tugas-tugas—karena guru-guru mata pelajaran tersebut jarang bahkan hampir tak pernah memberikan tugas—. Aku bisa melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa merilekskan sel-sel otot dan otak. Yah bisa dikatakan refreshing. Namun tidak dengan pergi ke luar rumah untuk melaksanakannya. Cukup duduk manis di meja belajar sambil mengutak-ngatik leptop atau membaca buku novel yang kupinjam dari perpus atau temanku. Sebagai selingan, aku juga memainkan handphone-ku. Tapi sepertinya sering sih. Soalnya di kamis malam frekuensiku memainkan Hp cukup tinggi. Hehe, ada seseorang yang biasa diajak ngobrol sih.