Pertama kali aku melihatnya
sekitar seminggu yang lalu. Ketika daun-daun meranggas dan terlepas dari
tangkainya—musim gugur. Sejak awal aku melihatnya, aku berdecak kagum dengan
penampilannya. Wajahnya yang dapat dikategorikan sempurna, pakaian kantor yang
ia gunakan begitu rapi, disertai dengan aura dingin dan sikapnya yang tak acuh
dengan orang-orang di tempat ini—dia selalu menampakkan wajah datarnya.
Ia
memesan secangkir kopi hangat. Aku menatapnya lekat saat menyeruput kopi
tersebut dengan kedua tangannya. Wajahnya tanpa ekspresi saat indra pengecapnya
merasakan kopi itu. Tapi bisa dipastikan ia menikmatinya. Tanpa sadar aku terus
mengamati gerak-geriknya. Aku merasa senang dan tentram saat menatap mata
kelamnya.
Lamunanku
buyar saat seorang pelanggan menghampiriku. Ia hendak membayar kopi yang telah
ia minum. Setelah selesai, tak lupa kuucapkan rasa terima kasih disertai dengan
senyuman. Pelanggan itu membalasnya dan pergi meninggalkan café ini. Aku menghela napas dan hendak melirik ke arah lelaki tadi.
Tapi aneh, dia sudah tak ada di kursi pojok kanan ruangan ini.
“Cappuchino.” Aku sedikit tersentak saat
aku mendengar suara baritone dari
samping kananku. Aku melirik ke arahnya. Dia... lelaki itu. Aku terdiam
sebentar lalu memproses satu kata singkat yang ia ucapkan.
Transaksi
dilakukan. Ia mengeluarkan sejumlah uang kepadaku. Aku menghitungnya. Ia
memberikan uang pas.
“Terima
kasih telah datang ke café kami.”
Seperti kepada pelanggan lainnya, sudut bibirku tersenyum kepadanya—tulus.
Manik giokku sempat bertemu pandang dengannya. Ia memiliki iris mata yang
indah. Hitam pekat bak batu obsidian.
“Ya.”
Ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Ia memasukkan kedua tangannya ke
dalam saku celananya. Aku menatap punggunggnya yang semakin lama semakin
mengecil lalu sosoknya menghilang karena ia telah keluar dari café ini.
At the Café
© 2012
An
Original Story by MizuRaiNa (Nazma/Ama)
Sejak seminggu yang lalu, dengan senang
hati aku bekerja part-time di cafe kopi yang terletak di Kyoto. Semua
itu karena kedatangannya yang terus berlanjut dari hari pertama aku menemukan
sosoknya. Aku tak pernah menyangka ia akan kembali dengan frekuensi yang bisa
dikatakan sering. Ia datang dengan waktu yang sama. Sebelum satu jam ke depan
aku pulang—sekitar jam empat sore. Sehingga pengunjung sudah tak terlalu ramai
di sini.
Hari
ini pun aku datang seperti biasa ke café
tempat kerjaku. Rasa lelah karena aku baru selesai kuliah semua menguap ketika
aku dapat melihat sosoknya. Sosok seorang lelaki berawakan tegap dengan kemeja
putih berbalut jas hitam dengan paduan celana hitamnya—selalu seperti itu. Aku
menyimpulkan, ia mungkin mampir ke café
ini setelah ia pulang dari kantornya.
Pintu café terbuka. Aku mendapati sosoknya
yang melangkah memasuki café ini. Ia
langsung saja mengambil posisi duduk di sebuah meja paling belakang. Aku hapal
gerak-geriknya. Ia memesan secangkir kopi cappuchino
lalu diam menunggu sambil mengutak-atik ponselnya. Aku heran, ia sering sekali
menatap layar ponselnya. Ah mungkin ia menggunakan fasilitas wireless di sini.
Ia tak
menunjukkan ekspresi apapun saat pelayan di café
menghampirinya untuk memberikan secangkir kopi yang ia pesan. Membalas senyuman
dari rasa terima kasih si Pelayan pun tidak. Setelah itu ia meresapi rasa dan
aroma kopinya. Aku suka saat ini. Aku bisa melihat ekspresinya yang sedang
menikmati kopi itu. Yah, walaupun tak terlalu nampak. Terkadang ia menaruh
kembali cangkir tersebut untuk meraih ponsel di hadapannya setelah itu kembali
menyeruput kopi miliknya.
Tak
terasa ia berjalan menghampiriku. Aku segera menyadarkan pikiranku yang sempat
melayang. Aku tahu, ia pasti akan membayar secangkir kopi pesanannya yang sudah
aku hapal di luar kepala. Ia hanya menyebutkan satu kata untuk menjelaskan kopi
yang telah dinikmatinya.
“Cappuchino.” Ya, kata itulah. Jika ia
tak menyebutkannya pun aku sudah tahu kopi apa yang ia pesan. Ia menyerahkan
lembaran uang pas. Aku tak perlu memberikan uang kembalian padanya.
Aku
selalu tersenyum tulus saat ia akan berlalu dari tempat ini. Meninggalkan
diriku yang masih terdiam di sini untuk melanjutkan part time-ku yang tinggal tiga puluh lima menit lagi.
~~~...~~~...~~~
Awan
putih mulai mengubah warna dan karakternya. Awan itu menurunkan butiran-butiran
putih es yang biasa disebut salju. Aku mengeratkan mantel yang kupakai. Tak
terasa sekarang ini telah memasuki musim dingin. Pantas saja pelanggan yang
datang ke cafe ini ramai setiap
waktu. Mereka akan mampir ke tempat ini untuk menghangatkan tubuh mereka
sebelum kembali ke luar dan berjalan di bawah guyuran salju.
Aktivitasku
menjadi cukup padat. Aku harus melayani pelanggan yang berdatangan untuk
membayar kopi yang telah mereka minum.
Aku
mengembuskan napas pelan dan panjang. Kepulan udara napasku menunjukkan begitu
dinginnya udara di sini—walapun penghangat ruangan aktif menguarkan
partikel-partikel panasnya.
Manik
milikku mencuri pandang ke meja paling pojok yang biasa ia tempati. Ia tak
berada di tempat itu. Padahal waktu telah menunjukkan jam setengah lima sore.
Aku pikir, apa mungkin hari ini ia tak akan datang ke tempat ini? Jika memang
demikian, aku tak dapat melihat wajahnya yang meresapi setiap seruputan kopinya.
Akiru desu ne.
Sudahlah,
mungkin besok aku masih dapat melihatnya. Sekarang berkonsentrasilah pada
pelanggan-pelangganmu Misaki jika kau masih ingin bekerja di tempat ini.
Orang-orang
yang berada di ruangan ini mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Aku
melirik jam yang tertempel di dinding. Tinggal sepuluh menit lagi aku berada di
sini. Aku merenggangkan otot-ototku yang terasa sedikit pegal.
Aku
menatap ke arah jalanan di luar. Tumpukkan salju telah menumpuk cukup tebal.
Tak sengaja aku melihat siluet seseorang yang sedang berjalan dengan mantel di
tubuhnya. Setiap langkahnya membentuk jejak dari tumpukan salju yag ia pijak.
Aku tak bisa menatap wajahnya dengan jelas karena hujan salju yang cukup besar.
Tapi yang pasti, langkahnya semakin mendekati tempat ini. Bolehkah aku berharap
lelaki itu? Aku ingin melihat wajahnya sebelum hari ini berakhir.
Mataku
sedikit berbinar-binar saat aku melihat sosok itu membuka pintu. Dia datang
dengan mengenakan mantel hitam. Beludru kelabu menghiasi kerah mantelnya.
Seperti biasa, ia mengambil posisi di paling pojok. Sesekali ia menatap
derasnya salju turun.
Aku
terkekeh pelan. Baru kali ini aku melihat ekspresi kesalnya. Sepertinya ia kesal
dengan gumpalan-gumpalan putih itu. Pelayan menghampirinya dan ia langsung
menyuarakan kopi hangat yang akan dipesannya. Tak lama pelayan itu kembali
dengan membawakan secangkir cappuchino
dengan kepulan asap yang terlihat jelas.
Ia
mengusap-usap kedua tangannya lalu mengambil kopi tersebut. Aku mengamatinya. Kami-sama, ia begitu memesona saat ini.
Pandangan mataku tak bisa lepas darinya. Aku melukiskan sebuah senyuman simpul
di sudut bibirku. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit ia telah selesai menghabiskan
kopi hangatnya. Aku menghela napas. Mengalihkan pandanganku ke arah lain karena
sebentar lagi ia akan menghampiriku.
“Cappuchino,” ucapnya. Aku bisa melihat
kepulan asap ke luar beriringan dengan kata yang ia ucapkan. Ia menyerahkan uang
cukup besar. Aku memasukkan uang itu sesuai dengan nilai nominalnya. Aku hendak
menarik beberapa lembar untuk kembaliannya.
“Tak
usah. Ambil saja,” ujarnya dengan nada datar. Aku tak sempat memberikan uang
kembalian untuknya. Ia sudah berjalan membelakangiku. Baru sekarang ini aku
mendengar ucapan dari mulutnya selain satu kata ‘cappuchino’.
Terpaksa
aku menaruh kembali uang kembalian yang tadi kuambil untuk diserahkan padanya.
Ya sudahlah.
Tak
terasa detik demi detik telah berlalu. Ima
atashi wa kaettemo ii desu. Wakatta!
Aku
berdiri untuk meninggalkan tempat kerjaku. Aku mohon pamit terlebih dahulu
kepada atasanku. Aku mengeratkan mantelku saat kubuka pintu keluar.
Langsung
saja aku merasakan dinginnya angin yang berembus. Rasa dingin itu terasa
menusuk kulitku sampai ke dalam tulang. Rupanya udara di luar jauh lebih dingin
dari udara di dalam Aku mengusap pelan
lengan atasku. Pandanganku mengarah pada butiran-butiran salju yang terus saja
turun dengan derasnya. Aku mengembuskan napas panjang. Terjebak di hujan salju
seperti ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menggerutu pelan. Kuso!
Aku
mengedarkan pandanganku. Aku melihat ada seseorang yang sedang berdiri menatap
turunnya salju dengan pandangan kosong. Aku memfokuskan pandanganku kepada
orang tersebut. Aku tersenyum sumringah.
Aku
berjalan menghampirinya dan berdiri tak jauh darinya.
“Salju
terus-menerus turun.” Aku mengucapkan kalimat tersebut sambil menggosokkan
telapak tanganku.
“Ya.”
Samar-samar aku dapat mendengar kata pendek itu darinya.
“Ne. Kau pelanggan tetap di Kanayama’s Coffee Café kan?” tanyaku.
Aku berusaha mencari pembicaraan lain.
“Ya.”
Ah, sepertinya dia sama sekali tak ingin kuajak bicara. Jawaban yang aku dapat
darinya hanya sebuah kata singkat. Tak lebih.
“Hm...
kupikir kau mampir ke café itu
setelah kerja.” Aku mengamati ekspresi
di wajahnya. Gurat-gurat keresahan tampak jelas. Sebegitu tak maukah ia aku
ajak bicara?
“Bukan
urusanmu.” Jleb. Jawaban yang sedikit menghentak ulu hatiku. Kami-sama, baru kali ini aku mendapati
makhluk yang dinginnya melebihi partikel-partikel es. Atau bahkan, sedingin
gunung es.
Aku
melirik sebentar ke arah tubuhnya—lebih tepatnya pada pakaian yang ia kenakan.
“Kau
mau menunggu sampai hujan salju berhenti?” tanyaku. Sepertinya ia telah cukup
lama berdiri di sini karena butiran-butiran salju banyak yang menempel di
mantelnya. Selain itu, ia mungkin berdiri di sini setelah keluar dari café tempatku bekerja.
“Bukan
urusanmu,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun padaku. Sarkastis.
Jawaban sama yang sebenarnya tak ingin kudengar. Apakah tak ada kata lain
selain ‘ya’ atau ‘bukan urusanmu’ yang bisa ia ucapkan?
“Kau
benar. Hhh... sepertinya selama ini aku memerhatikan orang yang salah. Tak kusangka
ternyata kau begitu sarkastik yang dinginnya melebihi gunung es.” Kata itu
tiba-tiba saja meluncur dari mulutku. Entah kenapa aku bisa mengutarakannya.
Aku ingin tahu apa reaksi yang akan ia berikan ketika mendengar rentetan
kalimat itu.
Ia
mendongakkan kepalanya padaku. Alis kanannya sedikit terangkat. Mungkin heran. “Bu—”
“Sudahlah.
Aku tahu apa yang akan kau ucapkan. Mata
ne.” Aku langsung saja memotong kalimat yang akan ia ucapkan. Segera
mungkin aku meninggalkannya dengan menerjang derasnya salju yang turun. Aku
merasakan sedikit rasa perih di hatiku. Ia akan menanggapi dengan dua kata itu
kan? ‘Bukan urusanmu’. Seperti yang ia katakan sebelum-sebelumnya.
~~~...~~~...~~~
Sudah
empat hari ini aku terbaring di tempat tidurku. Aku terkena demam dan flu
setelah berjalan di bawah guyuran salju. Aku tahu, setiap kali salju turun
deras dan aku berada di atas tanah tanpa ada yang menaungiku, tak lama kemudian
aku pasti jatuh sakit. Seperti sekarang ini. Belum lagi karena memikirkan aku
yang berani memberitahukannya bahwa aku selama ini memerhatikannya. Baka! Baka! Baka!. Padahal aku tak perlu
mengucapkan kalimat itu. Apa yang akan aku ucapkan jika aku bertemu dengannya?
Entahlah.
Esoknya,
suhu badanku menurun. Aku sudah bisa masuk kuliah. Mungkin aku tak akan bekerja
di café untuk beberapa hari ke depan.
Lagipula aku sudah meminta izin kepada atasanku tak bisa masuk kerja karena
sakit. Aku juga ingin mengejar keterlambatanku dalam menerima materi kuliah
yang ujian tulisnya dalam waktu dekat ini.
Sudah
berhari-hari aku tak melihat sosoknya. Ada rasa rindu dalam diri ini saat tak
bisa menatap wajah dan gerak-geriknya saat menikmati secangkir kopi hangat.
Apakah beberapa hari ini ia masih mengunjungi café itu? Aku harap aku masih melihatnya saat aku kembali bekerja. Kejadian
yang lalu mungkin saja telah ia lupakan. Juga itu bukan suatu hal yang penting
baginya.
Tiga
hari telah berlalu. Aku rasa aku telah cukup mengejar ketertinggalanku. Saatnya
untuk kembali bekerja. Aku kenakan baju panjang dan mantel yang tebal. Aku tak
mau terkena demam lagi ketika salju turun. Walaupun sekarang ini masih termasuk
siang hari, cahaya mentari tak dapat menembus awan-awan bermuatan es di
dalamnya. Aku menyusuri jalanan dengan salju cukup tebal sehingga tiap aku
melangkah aku melukiskan jejak kakiku di sana.
Aku
memasukkan kedua tanganku pada saku mantel biru tua yang kupakai—mencari
kehangatan. Bangunan café itu mulai
terlihat. Aku berdiri di depan pintu. Sekilas aku membaca palang nama café ini. Kanayama’s Coffee Café.
Aku
masuk ke dalam café. Manik giokku
mendapati pengunjung-pengunjung yang tengah menikmati kopi hangatnya. Aku
melempar senyum pada pengunjung yang melihat ke arahku. Sebelum aku menempati
bagian pembayaran, aku pergi ke ruangan atasanku. Meminta maaf karena aku baru
sekarang ini dapat kembali bekerja.
Atasanku
memaklumiku. Kebetulan sekali pelayan pengganti diriku tak masuk hari ini. Aku
segera menempatkan diriku seperti biasa. Rasanya lama sekali aku tak menyentuh alat-alat
pembayaran di sini.
Satu
per satu aku melayani pelanggan. Tak terasa waktu saat ini telah menunjukkan
pukul setengah lima sore. Samar-samar aku mendengar suara pintu terbuka. Aku
yang masih melayani pelanggan tak sempat melirik ke arahnya. Setelah selesai,
mataku sedikit terbuka lebar. Aku melihatnya. Ia telah datang. Ia mengambil
posisi duduk seperti biasa. Aku merasakan detak jantungku berdebar cepat. Aku
khawatir kalau-kalau ia masih mengingat kejadian –yang menurutku memalukan- seminggu
yang lalu. Tapi sepertinya ia bersikap seperti biasa—dingin dan cuek. Yokatta.
Sepuluh
menit telah berlalu. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiriku. Aku
menenangkan diriku dan bersikap senormal mungkin.
Ia
berdiri di hadapanku. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku melihatnya
mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkannya padaku.
“Aku
yakin kau tahu apa yang kupesan.” Aku mendongak untuk menatapnya. Kedua alisku
saling bertautan. Menyadari apa yang ia ucapkan membuat rasa panas menjalar di
pipiku.
“Eh?
Maksudmu?” Aku pura-pura tak mengetahui maksud dari ucapannya. Ia hanya membalasnya
dengan seulas senyum tipis. Sungguh, aku terpana melihat senyuman itu. Aku
menepis pikiran-pikiran yang mengusik diriku dengan menggelengkan pelan
kepalaku. Aku merasa salah tingkah.
“Aku
tunggu kau di restoran sushi yang tak
jauh dari sini setelah jam kerjamu berakhir.” Ia membalikkan tubuhnya dan pergi dari café ini.
Kami-sama... ini bukan
mimpi kan? Ini bukan khayalanku saja kan? Dia... menungguku di restoran sushi?
Aku
melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Tinggal lima menit lagi jam
kerjaku berakhir. Aku masih sempat melayani satu pelanggan dan setelah itu aku
berpamitan kepada atasanku untuk pulang—tapi aku terlebih dulu mampir di
restoran sushi.
Senandung
aku lantunkan dengan pelan saat aku menyusuri tepi jalan. Aku tak perlu
susah-susah untuk menyebrangi jalan raya karena letak restoran sushi di sini hanya terhalang beberapa
bangunan dari Kanayama’s Coffee Café.
Pintu
restoran kubuka. Aku berjalan sembari melirik orang-orang yang ada di sana. Aku
menemukan ia sedang duduk di salah satu meja yang hanya terdapat dua kursi. Ia
melihat ke arahku dan menunjukkan senyumannya. Sepertinya pipiku sedikit merona
setiap kali aku melihat senyumnya. Ia semakin terlihat tampan dan memesona.
Aku
membalas dengan senyuman yang kubuat setulus mungkin dan duduk di hadapannya.
Pelayan di restoran ini memberikan daftar menu sushi yang tersedia di sini. Aku memesan futomaki dan ia pun memesan sushi
yang sama.
“Emm...
ada yang ingin kau bicarakan denganku?” Aku membuka pembicaraan sambil menunggu
pesanan datang.
“Ya.
Aku ingin minta maaf. Gomennasai. Sepertinya
aku terlalu ketus padamu. Kore wa watashi no machigai desu,” ucapnya.
Aku tak
menyangka ia masih mengingat itu. Terlebih lagi ia meminta maaf padaku karena
merasa itu kesalahannya.
“Kamaimasen. Tanpa kau meminta maaf pun
aku sudah memaafkanmu.”
“Lalu,
mengapa kau tak datang berhari-hari setelahnya?” Apa? Jadi ia memerhatikan
kehadiranku juga? Aku benar-benar tak menyangka.
“Aku
terserang demam setelah berjalan dalam derasnya salju yang turun. Watashi wa dokomo ikimasen deshita. Lagipula
aku sudah memberitahukannya pada atasanku.” Aku menuturkan alasanku.
Aku
melihat sebuah kerutan di dahinya. “Kenapa Iwatsuka tak memberitahukannya
padaku?” Ia menatapku dengan tatapan heran. Aku lebih heran lagi ketika ia
mengetahui nama atasanku.
“Hee? Nani? Kau tahu darimana nama atasanku?”
Aku menunjukkan ekspresi penuh keheranan. Meminta ia menjelaskannya.
“Jelas
saja aku tahu. Aku pemilik Kanayama’s
Coffee Café.” Mataku terbelalak. Tak percaya. Jadi selama ini dia adalah
pemilik café itu?
Ia
mengembuskan napas panjang. Aku tak menjawabnya karena kupikir, ia belum selesai
berkata yang jelas terlihat dari ekspresinya.
“—kau
pasti tak menyangka hal itu. Baru minggu-minggu ini aku kembali ke Jepang. Ke Kyoto.”
Seorang
pelayan memotong pembicaraan kami. Sushi
yang kami pesan telah datang. Aku bersiap-siap untuk memakannya dan aku tak berkomentar
tentang pernyataannya. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku memang pekerja baru
di café itu.
“Hm... Selain
aku ingin minta maaf, aku juga ingin melanjutkan kalimatku yang belum selesai
kuucapkan waktu itu.” Aku kembali menatapnya. Rasa kesal menjalar seketika saat
mengingat kejadian itu.
“Bukan
urusanmu kan?” Aku menyampaikan asumsiku selama ini. Dua kata yang membuatku
kesal dan berani mengambil tindakan untuk segera menerjang derasnya hujan
salju. Aku merutuki diri sendiri. Misaki no
baka!
“Kau
salah. Maksudku, bukan hanya kau saja. Aku juga selalu memerhatikanmu.” Ia
tampak serius menyatakan kalimat itu. Aku mencoba menelisik kebohongan yang
terdapat di raut wajahnya. Namun aku tak menemukannya.
Aku tak
dapat memercayai hal ini. Mungkin saja ini mimpi atau pendengaranku yang salah.
Demo, ini nyata! Seketika sensasi
panas menjalar mengalahkan dinginnya udara saat ini. Irisku dan obsidian
miliknya saling bertemu pandang. Aku terhanyut dalam mata hitam pekatnya.
Perlahan kedua tangannya menyentuh kedua tanganku. Aliran darahku berdesir. Tubuhku
menghangat. Rasa nyaman tiba-tiba menyelimutiku.
Aha! Aku
teringat futomaki punyaku belum
tersentuh sama sekali. Aku menarik tanganku dan mengalihkan pandanganku pada futomaki yang telah tersedia di atas
meja. Semoga saja wajahku tak terlalu merah. Aku tersenyum padanya dan mengucapkan
itadakimasu untuk memulai makan.
Saat
ini aku sangat senang. Ternyata bukan hanya aku saja yang memerhatikannya.
Juga... besar kemungkinan perasaannya padaku sama halnya perasaanku padanya. Doumo arigatou Kami-sama!
~~~...~~~...~~~
_The
End_
~~~...~~~...~~~