Langit yang Sama


.


Langit yang Sama © 2012 by MizuRaiNa
Original Fiction // Oneshot // Romance // Hurt

Langit biru lambat laun berubah warna menjadi jingga lalu hitam pekat. Sang mentari telah bersembunyi untuk menerangi belahan dunia lain. Menyisakan warna hitam kelam sejauh mata memandang. Namun, ada seonggok rembulan yang menggantikan tugasnya. Bersama dengan jutaan kerlap-kerlip bintang yang turut menghiasi langit malam.

Aku terus menatap kumpulan rasi bintang di sana. Menyudahi kejenuhan dan kepenatanku karena berkutat dengan rumus-rumus elastisitas dan trigonometri. Aku membandingkan suasana tiga malam terakhir ini dengan malam-malam jauh sebelumnya. Sungguh berbeda.

Malam-malam lalu selalu dihiasi dengan canda tawaku bersamamu. Kau tahu, semenjak kau pergi dari kehidupanku, aku selalu termenung menatap langit kelam. Menyatukan titik-titik bintang dan membayangkan bintang-bintang itu membentuk wajahmu.

Aku rindu.

Rindu akan suaramu, wajahmu, tatapan matamu, candamu, tingkah lakumu, semua yang ada pada dirimu. Aku ingin kau berada di sini, di sampingku. Bersama melewati hari-hari. Bersama-sama mengerjakan berbagai tugas dari guru-guru di sekolah.

Sejenak aku teringat dengan soal-soal trigonometri yang belum sepenuhnya aku kerjakan. Mungkin saat ini, jika kau masih ada di sini, kau akan mengomeliku karena aku belum menyelesaikannya. Dan paling-paling reaksiku hanya menjawab ‘aku tidak bisa. Ini terlalu sulit untukku.’ Setelah itu kau memasang tatapan tajammu lalu mengajariku. Menerangkan rumus-rumus yang terdapat di buku dan mencocokkannya pada salah satu soal yang tak bisa kukerjakan. Aku hanya diam mendengarkan dan memerhatikan. Sekali-kali aku mencuri pandang ke arahmu yang terkadang secara tak sadar aku menarik sudut bibirku ke atas. Entah untuk apa.

Setelah kau menerangkannya, kau pasti bertanya apa aku sudah memahaminya. Aku mengangguk dan berterimakasih dengan disertai seulas senyum simpul. Ketika masih ada sisa soal, ia menyuruhku untuk mengerjakan seperti yang ia contohkan. Dalam hitungan menit, soal yang semula kuanggap sulit terasa mudah kuselesaikan. Aku menoleh kepadanya untuk menyuarakan hasil kerjaku. Sering kali kudapati ia menatapku dengan intens. Refleks, semburat merah menjalar di sekitar pipiku. Jika kau melihatku yang seperti itu kau pasti akan menggodaku, membuatku tak henti-hentinya mengelak dan kau masih tetap saja menggodaku. Akhirnya, malam itu dipenuhi candaku dan candamu.

Hei Rayhan. Aku tak pernah menyangka kau akan pergi secepat ini. Waktu dua tahun bersamamu terasa sebentar. Aku masih ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Aku masih ingin belajar bersamamu di malam hari, di sebuah rumah pohon yang ayahku bangun di antara rumahku dan rumahmu.

Kau mungkin tak akan pernah menyangka. Hingga saat ini aku masih suka melempar pandangan ke arah luar dari jendela kamarku. Berharap aku bisa menemukan sosokmu di balik jendela yang dulu kau tempati sebagai kamarmu. Walau kutahu yang kudapati hanyalah sebuah jendela yang ditutupi gorden biru tua, warna kesukaanmu.

Aku menghela napas panjang. Mengingat memori tentang kita membuat perasaanku tak menentu. Saat ini juga aku merasa senang sekaligus rasa sesak menghimpit dadaku.

Rayhan...

Apakah kau juga merindukanku? Apakah kau juga sering mengenang memori saat kita bersama? Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau lakukan saat ini? Apakah kau juga menatap langit malam seperti yang kulakukan?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan yang kutahu aku tak akan menemukan jawabannya.

Aku teringat malam terakhir kau berada di sampingku. Kau berkata, walau kita terpaut jarak yang sangat jauh kita masih di bawah langit yang sama. Kau di sana masih bisa membayangkan wajahku di atas langit sana. Angin malam pun dapat menyampaikan pesanku padamu. Benarkah itu Rayhan? Apakah saat ini kau mendapat pesan dari desau angin malam bahwa aku sangat merindukanmu?

Ah, kenapa aku baru menyadari kau sangat berarti untukku? Mengapa aku tak menyadarinya jauh hari sebelum kepergianmu? Bodoh. Aku memang bodoh.

Tiba-tiba, di langit sana terdapat sebuah bintang jatuh. Aku segera menetralisir pikiran dan perasaanku. Dalam hatiku terbesit banyak permohonan yang berkaitan denganmu. Aku ingin bersamamu lagi. Aku ingin kau selalu berada di sisiku. Aku ingin kau selalu mengingatku. Aku ingin—ah, terlalu banyak permintaan.

Tuhan, setidaknya... aku bisa bertemu dengannya suatu saat nanti. Di tempat dan waktu yang berbeda namun di langit yang sama.
.
~~...~~...~~...~~
The End
~~...~~...~~...~~

Your Reply