The Raindrops © 2012
An Original Story by MizuRaiNa
.
.
Tes tes tes...
Bulir-bulir hujan jatuh satu per satu membasahi
tanah. Langit begitu gelap. Tertutupi oleh awan commulus yang telah bergumpal hitam dan menumpahkan bulir air ke
bumi. Menurunkan hujan.
Hujan. Aku sangat suka hujan. Aku bisa
menyaksikan bulir-bulir air yang terjatuh menikam bunga dan daun. Terkadang,
bulir-bulir itu tertiup angin kencang atau perlahan-lahan. Hingga terlihat
sedang menari. Terombang-ambing bersama bunga-bunga yang menari.
Saat ini aku juga tengah melihat hujan yang menari
dengan indah di halaman rumahku. Duduk di kursi dengan nyaman—di depan sebuah
meja. Menghadap jendela yang terbuka cukup lebar. Jemariku berkaitan satu sama
lain—menopang dagu. Iris mataku memandang lurus ke depan.
Imajinasiku bergerak liar. Sungguh romantis jika
bisa menari seirama dengan hujan dan bunga-bunga bersama seseorang. Saling
berbagi kehangatan dalam hawa dingin yang begitu menusuk. Atau hanya sekedar
bersamanya di bawah guyuran hujan dengan jemari yang saling bertautan.
Aku jadi teringat dengan awal perjumpaan kita. Perjumpaan
di saat-saat bulir-bulir air menari. Bukan. Bukan pertemuan yang romantis
seperti imajinasiku dalam file-file
yang tersimpan di cerebrum-ku. Kita hanya
duduk berdampingan dalam sebuah bus. Kau di samping jendela, sedangkan aku di
sampingmu. Pandanganku selalu tertuju ke luar jendela. Melihat derai hujan
menari dengan indah. Aku sedikit melirik dan memperhatikanmu—lebih tepatnya
banyak. Kau begitu tampan dengan tatapan tajammu dan rambut hitam legam membingkai wajahmu. Kulitmu putih juga bersih.
Belum lagi tubuhmu memakai kemeja putih, dibalut dengan jas hitam. Saat itu aku
mengira engkau pastilah orang penting dalam sebuah perusahaan.
Sayang. Sepatah kata pun tak keluar dari bibirmu.
Raut wajahmu datar, tanpa ekspresi. Kau terdiam dengan duniamu sendiri. Untuk
sekedar menyapa saat kau datang dan duduk di sebelahku pun tidak. Perjumpaan
pertama kita hanya sekilas dan berakhir karena tempat yang aku tuju telah
sampai. Diiringi pula dengan air hujan yang perlahan menipis dan berhenti.
Tak kusangka kita akan berjumpa kembali. Tapi di
tempat dan waktu yang berbeda. Kita berjumpa di sebuah cafe. Aku datang ke cafe
itu karena setelah aku pulang dari tempat kerjaku turun hujan dengan derasnya.
Aku berinisiatif untuk menaungi diri dan menikmati secangkir kopi hangat. Ekor
mataku memicing, mencari tempat yang nyaman. Saat itulah, aku melihat kau duduk
di dekat jendela. Sendiri. Dengan sandang yang sama seperti dulu.
Aku duduk di meja samping dekat denganmu. Tak
berani ikut duduk berdampingan atau berhadapan langsung dengan kau yang terdiam
dengan secangkir kopi hangatmu. Seperti biasa, aku menatap rinai hujan yang
menari. Dengan posisi menghadap ke arahmu dan jendela itu. Tapi pandanganku
selalu ingin melirik ke arahmu. Mengamati lekuk wajahmu yang bisa dikatakan
sempurna dimataku. Kau bagaikan sebuah magnet dan aku berada di daerah medan
magnet.
Aku terus menatapmu lekat. Hingga kau mengalihkan
pandanganmu dan melirik ke arahku. Aku tersentak dan segera mengalihkan pandanganku
ke arah lain. Tak berani bola mataku bertemu pandang dengan bola matamu yang
hitam dalam jangka lama. Sebentar saja beradu pandang denganmu, seketika aku
merasakan sensasi panas menjalar di pipiku. Mungkin rona merah terpampang. Aku
tak tahu itu. Yang jelas aku merasa malu. Segera aku menghabiskan kopi yang
tersisa dan pergi menuju kasir lalu pulang.
Satu minggu kemudian, aku terjebak kembali dari
guyuran hujan dan aku lupa untuk membawa payung ke kantor tadi pagi. Masalahnya
aku terlanjur keluar dari kantorku dan masih harus berjalan kaki beberapa meter
ke jalan utama atau kembali. Shit!
Sekarang aku harus menunggu sampai hujan berhenti!
Aku menengadah menatap langit yang hitam merata. Well, sampai kapan aku harus berdiri di
sini menunggu hujan reda? Oh sungguh, baru saat itu aku tidak suka dengan
turunnya hujan. Aku melirik jam yang melekat pada pergelangan tanganku. Sudah
pukul empat sore.
‘Ya Tuhan, aku
mohon bantulah aku. Aku tak ingin terjebak di sini terlalu sore atau bahkan
sampai malam.”
Tap tap tap...
Telingaku mendengar suara derap kaki yang kian
mendekat. Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati seorang pemuda dengan
balutan jas hitam dan payung yang masih tertutup di tangan kanannya. Ia semakin
mendekat kearahku dan aku menyadari satu hal—ternyata itu kamu. Aku tak
berkutik. Pandanganku yang sempat melirik ke arahmu segera kualihkan dengan
memandang lurus. Biarlah kau segera berlalu.
Asumsiku salah. Ternyata kau berhenti melangkah
dan berdiri di sampingku dengan tegap. aku sangat kaget. Tiba-tiba saja kau
menjulurkan tangan kananmu yang memegang sebuah payung berwarna biru, sedikit
bermotif salju kurasa.
“Hm, maaf. Ada perlu apa?” tanyaku pelan.
Berusaha berbicara sopan.
“Pakailah,” jawabnya tanpa ekspresi sambil
menjulurkan payung itu kembali.
Aku heran. Benarkah ia menawarkan payung itu
untukku? Tapi bagaimana denganmu sendiri?
“Eh? Tapi bagaimana dengan anda sendiri?” tanyaku
sedikit formal.
“Tak apa-apa,” jawabnya. Aku mengambil payung itu
dan membukanya. Cukup lebar. Bisa dipakai untuk berdua.
“Bagaimana jika kita pergi ke jalan utama
bersama-sama?” Semburat merah sedikit terukir saat kuucapkan kalimat yang
membutuhkan persetujuan darimu itu.
“Hm... bisa juga.” Tubuhmu semakin mendekat ke
sisiku dan berbagi payung itu berdua denganku.
Deg
Irama jantungku berdetak tak beraturan. Darahku
berdesir. Rona merah pun sepertinya akan terus terpatri di pipiku jika terus
berada di sampingmu. Rasanya suara detak jantungku sungguh keras hingga indra
pendengaranku di dominasi oleh suara detak jantungku sendiri, mengalahkan suara
hujan yang deras.
Kaki kirimu melangkah ke depan. Aku mengiringi
langkahmu. Mencoba menyesuaikan. Tubuhku yang tadi sempat kedinginan kini
menghangat. Selain itu entah kenapa aku merasa nyaman berada di dekatmu.
Rupanya pikiranku tanpa sadar semakin terbang ke
mana-mana sampai-sampai kau menggenggam pergelangan tanganku karena aku tak
menyadari ada genangan air di hadapanku. Untunglah, aku tak terjatuh pada
genangan air itu atau lebih parah lagi terpleset gara-gara itu. Namun efeknya
sangat besar bagiku. Jantungku sangat cepat berdetak dan darahku semakin
berdesir. Oh kau sepertinya bisa membuatku jantungan!
Tap
Langkah kakimu terhenti. Begitupun denganku. Ah,
rupanya kita telah sampai di jalan utama. Kita terdiam sebentar lalu kau
bertanya padaku, “kau mau pergi ke mana?”
“Aku mau ke halte dekat Taman Lili. Rumahku tak
jauh dari sana,”
“Kita searah,” jawabnya singkat.
Aku sangat senang. Berarti aku masih bisa
bersamamu.
Tin tin...
Sebuah mobil bus berhenti di depan kita. Aku
mulai masuk ke dalam dan kau mengikuti di belakangku. Aku mencari-cari tempat
duduk yang masih kosong. Aku menemukan dua buah bangku kosong yang berdampingan.
Aku memilih duduk di sana. Kamu yang berjalan di belakang juga duduk di
sampingku.
“Seperti dulu,” gumammu samar.
‘Eh? Apa
maksudnya dengan ‘seperti dulu’ itu?’ Aku mengacuhkan ucapannya dan melirik
ke arah lain.
Karena kali ini akulah yang duduk di samping
jendela, aku bisa melihat hujan menari dengan leluasa. Sayang, aku tak bisa
melihat wajahmu. Tak apa lah.
Oh iya. Aku baru ingat. Aku belum mengucapkan
terima kasihku.
“Terima kasih untuk tadi,” ucapku sambil
memberikan seulas senyuman yang tulus.
“Ya.” jawabmu datar tanpa membalas senyuman dariku.
Well,
kau begitu dingin. Sedingin udara yang saat ini berembus atau lebih dingin? Aku
tak tahu.
Berkilo-kilometer diantara kami tak ada obrolan.
Hening. Aku pun tak tahu harus memulai apa. Aku juga sadar, kau pasti akan
menanggapinya dengan singkat. Aku lebih untuk diam menikmati tarian hujan.
Ah, ternyata rinai hujan mulai mereda. Jarak ke
taman pun tinggal beberapa kilometer lagi. Aku bersiap untuk segera turun.
Decitan mobil terdengar beriringan dengan
berhentinya laju mobil. Halte Taman telah sampai. Aku bergegas keluar bus dan
berjalan menyusuri samping taman. Aku mendongak ke atas melihat langit. Bola
mataku berbinar-binar. Aku menemukan sebuah pelangi terlukis di langit biru
yang cerah.
Kuurungkan niatku untuk segera pulang. Aku lebih
tertarik untuk melihat pelangi di salah satu bangku taman. Akhirnya aku
memasuki taman itu dan mencari salah satu bangku untuk di tempati. Namun
sepertinya bangku-bangku itu telah banyak yang memakai. Aku melirik dan
memperhatikan orang-orang di sekitar. Tak sengaja aku mendapati seorang pemuda.
‘Hmmm...
kamu kah?’ inner-ku.
Aku berjalan semakin mendekat ke arah pemuda itu
dan memang benar. Ternyata itu kau! Aku pikir kau akan pergi ke mana. Ternyata
engkau berada di sini. Wajar sih, aku tak memperhatikan kau turun di mana.
“Bolehkah aku duduk di sini?” tanyaku meminta
persetujuan kepadamu.
Kamu yang sedang menatap lurus ke arah langit
mengalihkan pandanganmu sebentar dan melirik ke arahku.
“Tentu.”
Aku duduk di sampingmu. Ah, aku lupa satu hal.
Aku belum tahu siapa namamu.
“Perkenalkan, aku Melly. Boleh kutahu siapa
namamu?”
“Evan.”
Kau memang sulit diajak bicara. Kau sangat irit
dalam mengutarakan kalimat. Yah, paling tidak aku tahu namamu—Evan. Nama yang
bagus.
Setelah perkenalan yang sangat singkat itu. Aku
kembali ke tujuan awalku—melihat pelangi.
“Indahnya... baru kali ini aku melihat pelangi
setelah berminggu-minggu dalam musim ini,” gumamku tanpa sadar.
“Ya. Juga saat pertama kita bertemu,” sahutmu
tanpa mengalihkan arah pandangmu ke arahku.
‘Kau
mengigatnya?’ inner-ku bersua. Aku tak percaya ini. Apa maksud dengan
pertama kali bertemu? Saat di bus itu kah? Atau saat di cafe?
“Ya.” Aku menjawab singkat, kembali pada
aktivitas awalku.
Aku sangat suka melihat pelangi. Ditambah dengan
kamu yang saat ini berada di sampingku. Membuatku sangat nyaman dan tenang. Aku
sangat ingin kita berlama-lama di sini, bersamamu.
Perlahan-lahan warna-warni pelangi yang kulihat
semakin memudar. Langit yang tadinya berwarna biru cerah berganti menjadi
kemerahan. Mungkin matahari sebentar lagi tenggelam. Hal itu mengingatkanku
akan waktu sekarang ini.
Mataku sedikit terbelalak ketika aku melirik
jarum jam yang tertera di pergelangan tanganku. Great! Saat ini pukul lima lebih!
“Um, Evan, aku duluan ya!” aku mohon pamit dan
setelah itu pergi meninggalkanmu yang masih duduk dengan santai dan nyamannya.
‘Semoga
kita berjumpa kembali Evan,’ batinku saat berlalu.
.
Itulah pertemuan pertama, kedua dan ketiga kita.
Selalu dalam rinai hujan. Mengingatnya kembali sungguh menyenangkan. Membuat
bibirku selalu terukir sebuah senyuman.
Selain itu, sekarang aku juga teringat. Saat aku
dipindahkan tugas kerja. Aku bersyukur karena aku ditempatkan pada suatu perusahaan
yang sangat terkenal. Aku menjadi salah satu Asisten Direktur di perusahaan
itu. Kalau tidak salah sih bukan Direktur Utama. Tapi aku bersyukur. Setidaknya
penghasilanku akan lebih baik.
Aku berdandan seperti biasa tanpa banyak
menempelkan kosmetik di wajahku. Aku hanya memakai lipgloss dan bedak setipis mungkin dengan pakaian serapi-rapinya.
Aku tak ingin memberi kesan buruk saat pertama kali bekerja.
Aku tak sabar untuk mengetahui siapa yang akan
menjadi atasanku. Seperti apakah dia? Setelah berkenalan dengan Direktur Utama
dan seluruh staff di perusahaan itu,
barulah aku memperkenalkan diri dengan Direktur yang memerlukan seorang
asisten. Yeah, aku harus menemuinya di ruangannya dan mungkin juga ruanganku.
Tuk tuk tuk
Aku mengetuk pintu dan mendapat sahutan suara baritone yang sepertinya kukenal,
“masuklah.”
Aku masuk dan menghampirinya yang sedang duduk
membelakangiku. Aku berjalan dan berdiri disampingnya.
“Perkenalkan, saya asisten baru anda mulai saat
ini, Melly Riskadiani. Mohon bantuannya.” Aku sedikit membungkukkan badanku.
Memberi hormat pada atasan baruku.
“Ya. Aku sudah tahu,” ujarnya singkat.
Suara itu...
Ia berbalik dan berhadapan denganku. Bola matanya
tepat mengarah ke bola mataku. Kau...
“Aku Remigius Evan. Kau pasti sudah tahu,”
tambahmu.
Sejak saat itu, kita selalu bertemu. Setiap hari.
Sungguh menyenangkan.
Jder...
Suara petir membuyarkan lamunanku. Aku tersentak.
Bukan. Bukan hanya karena petir yang menggema. Itu karena sebuah tepukan pelan
dipundakku. Segera saja aku membalikkan diri dan mendapati seseorang di
sampingku.
“Apa yang sedang kau lakukan Mel? Menatap hujan?”
“Tentu saja,” jawabku.
Kalian tahu siapa orang itu? Ya, dia adalah Evan.
Kini ia telah menjadi suamiku sejak setahun yang lalu.
Aku berdiri tapi kembali menatap jarum-jarum
hujan yang masih menari. Engkau merunduk dan menempelkan dagumu pada pundakku.
Hingga embusan napasmu sangat terasa di leher jenjangku.
Hei, pipiku mulai terasa panas. Itu karena efek
tanganmu yang merangkul pinggangku dengan dagu yang masih menempel pada
leherku. Aku sangat menikmati moment-moment seperti sekarang ini. Hujan
memang selalu memberikan kesan romantis diantara kita.
.
~~~...~~~...~~~
The End
~~~...~~~...~~~