Archive for 2013

Asal-usul Naruto?


.


Asal-usul Naruto? © 2012

An Original Story by MizuRaiNa

.

Aku mendudukkan diriku di sebuah bangku yang terletak di tiga bangku dari depan. Disusul oleh Gina yang duduk di sampingku. Bukan bangkuku, tapi bangku Riris dan Nurul. Itu karena bangkuku ditempati olehnya. Biarlah. Toh gak ada Pak Tedi. Ia tak mungkin masuk di saat jam pelajaran yang tersisa tinggal setengah jam lagi. Tanggung banget.

Aku segera teringat dengan novel yang beberapa saat lalu kupinjam dari perpustakaan. Langsung saja kutunjukkan pada Ilmi. Ia kan mencari-cari novel karangan Tria Barmawi. Kebetulan aku menemukannya di perpus.

Obrolan kami hanya berkisar beberapa menit. Aku megedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Berkubu-kubu. Ada yang sedang bergosip ria, mengerjakan BK—Buku Kerja—biologi, nonton film di laptop, baca buku, bahkan ada beberapa temanku yang merebahkan diri di lantai paling belakang. Aku berinisiatif untuk membaca buku novel tadi. Yeah, daripada tak ada kerjaan sama sekali. Kulihat Gina juga sedang membaca buku yang tadi ia pinjam bersamaku.

Baru juga beberapa helai kertas novel kubaca, Nurul mengalihkan perhatianku.

"Nazma, ini artinya apa?" Ia membalikkan tubuhnya sehingga berhadapan denganku. Tangannya memegang selembar kertas dengan isi rentetan huruf-huruf hiragana.

Aku tak langsung menjawabnya namun menghampirinya—mejaku—dan mengambil salah satu buku tulisku yang tergeletak di atas mejaku.

"Nih, coba baca. Ini huruf hiragananya." Aku menyodorkan buku tulisku pada lembar yang aku tulisi huruf-huruf hiragana dan katakana.

Ia mengangkat sebelah alisnya. "Gak ngerti ah."

"Gampang kok. Ini a, i, u, e,o, ka, ki, ku, ke ko, bla bla bla."

Saat aku menerangkan aksara-aksara Jepang itu, Riza menghampiri kami berdua. Ia turut menanyakan hal-hal tentang Jepang. Jadilah Jepang sebuah topik yang kami perbincangkan.

"Hei, aku jadi inget sesuatu. Ada yang tahu gak asal usul Naruto?" celetuk Nurul.

Aku mengangkat bahu. "Nggak."

"Sebenernya Naruto itu asalnya dari Indonesia. Nama aslinya bukan Naruto Shippuden. Tapi Narto Saipudin," tuturnya.

Aku tak menanggapi. Hanya sedikit membuka mulutku. Hah? Dari Indonesia?

Aku terkekeh geli mengingat nama tadi. Narto Saipudin? Gokil amat tuh nama!

"Lah, bohong," tanggap Riza.

"Iya. Orang Jepang kan gak bisa nyebut Narto Saipudin. Jadi wae Naruto Shippuden."

Aku sedikit tertawa. Ucapan Nurul ada benarnya juga. Haha.

"Ah iya juga. Kan di Jepang gak ada huruf mati selain 'n'. Jadi ditambah huruf vokal. Jakarta aja dibacanya jadi Jakaruta. Narto juga jadi Naruto kan?" Aku berkata seolah-olah membenarkan perkataan Nurul. Biar saja. Seru juga sih topik pembicaraan kali ini.

Tawa mulai merebak dari aku, Riza, Gina. Ternyata dia jadi ikut-ikutan mengikuti obrolan kami.

Belum juga tawa berhenti, Nurul berkata, "terus terus ada lagi. Mie ramen itu ada di Sumatra. Tapi aku lupa namanya. Apa yah?" Ekspres Nurul berubah seakan-akan ia berpikir keras.

"Mie Raman? Ramin? Apa ramon kali ya?" lanjutnya.

"Eh? Mie rambut mereun," celetuk Riza asal-asalan.

Sekali lagi, kami tertawa. Aneh-aneh saja!

"Masih ada. Tau gak jubah hitam yang ada awan-awannya?" Ia menatap kami satu per satu.

Aku segera menanggapinya. "Tau laahhh. Itu kan jaket akatsuki."

"Nah, itu terinspirasi dari batik Cirebon. Lihat wae puringkel-puringkelna. Mirip pisan."

Nani? Aku tertawa. Batik trusmi? Aku membayangkan gambar batik itu dan membandingkannya dengan 'batik' awan-awan yang terdapat di jubah akatsuki. Haha, benar juga. Dengan seragam batikku pun ada kesamaannya.

"Heeuh oge nya," ujar Riza di sela-sela tawanya.

Gina ikut tertawa walaupun aku tahu dia pasti tak terlalu mengenal anime Naruto. Paling hanya pernah melihatnya sepintas.

"Hokage ke lima teh saha karah?" tanyanya lagi. Nurul Nurul, Hokage ke lima aja gak tahu. Dia ngomong tapi gak terlalu tahu tentang anime-nya sendiri.

"Tsunade. Su*una gede," jawab Riza yang langsung disertai tawa kami yang mendengarnya. Ini anak malah melesetin nama Tsunade lagi!

"Hu'um, yang itu. Itu juga kayaknya terinspirasi dari presiden kita loh~"

"Masa?" tanya Gina.

Nurul menganggukkan kepalanya lalu mengambil sebuah pulpen tak tahu milik siapa. Ia mencari sebuah kertas untuk ia tulisi.

"Presiden pertama Sukarno, Suharto, Habibie—" Ia tak melanjutkan kata-katanya namun malah menatapku.

"—saha deui sih?" tanyanya.

"Gus Dur," jawabku dan Gina hampir berbarengan.

Ia menuliskan nama tersebut setelah Habiebie.

"Terus pan Megawati. Berarti Megawati teh diibaratkan Tsunade."

Wkwkwkwk. Megawati? Tsunade?

Kami terpingkal-pingkal kegelian. Bahkan Riza sampai-sampai memukul-mukul meja sedangkan Gina dan aku memegang perut masing-masing.

"Terakhir. Tebak, si Narto teh di Indonesia saha?" tanya Nurul entah pertanyaan keberapa.

"Siapa?" tanya kami hampir berbarengan.

Belum juga ia menjawab, ia sudah tertawa-tawa duluan. Haduh, gimana sih?

Tawanya akhirnya mereda.

"Bajunya kan oren, berartiii—

—pemadam kebakaran!" Ia berdiri dari duduknya dan memeragakan sedang memegang selang pemadam kebakaran.

Kocak! Aku tak bisa menahan tawa lagi. Hahahahaha.

"Baju si Naruto mah gak nyambung. Warna oren dihijikeun jeung biru. Masa Persib dihijikeun jeung 

Persija? Nya teu bisa," celetuk salah seorang dari belakang.

Kami menolehkan kepala mengarah pada sumber suara tadi. Dia penggemar Persib kali.

"Yeh, da leuwih mirip pemadam kebakaran."

Beberapa detik kemudian bel pulang berdentang. Langsung saja kami kembali ke tempat duduk masing-masing untuk segera membereskan buku-buku yang masih berceceran. Saatnya pulaanng~

Haha, jam-jam akhir yang biasanya membosankan kali ini begitu mengasyikan!
.
_The End_

Sleeping Angel


.


Sleeping Angel © 2012
An original story by MizuRaiNa (Nazma Raira)


##
~~Sleeping Angel~~
##

Takuma Hiro's POV

Kemilau lembayung senja dapat kulihat dengan jelas. Awan-awan kumulus telah berganti menjadi awan stratus yang menyebar menutupi langit. Tak terasa waktu siang akan segera berakhir. Mentari hampir berada di ufuk barat—hampir bersembunyi di balik garis horizontal.

Aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah jam setengah lima sore. Pantas saja suasana begitu sepi. Hiruk-pikuk aktivitas siswa-siswi di sini sudah tak dapat kutangkap lagi.

Aku melangkahkan kakiku menyusuri koridor sampai tiba di ruangan yang terkadang aku gunakan untuk menyalurkan apa-apa yang kulihat, kudengar, dan rasakan. Penuangan warna-warni kehidupan melalui kuas-kuas yang kugoreskan ke atas kanvas putih. Ya, aku memang sering mengespresikan diriku melalui sketsa-sketsa, lukisan, dan semua yang berhubungan dengan seni lukis.

Tujuanku saat ini yaitu aku hendak mengambil buku sketsaku yang tertinggal. Mengingat itu aku jadi teringat dengan hal lain yang lebih penting. Aku belum menemukan objek yang akan kulukis sedangkan lukisan itu harus selesai dalam tempo cepat—minggu ini.

Aku mengembuskan napas panjang. Langkahku terhenti di hadapan sebuah pintu coklat khas ruang seni. Aku memutar kenop pintu. Untunglah belum dikunci. Aku memasuki ruangan dan arah pandangku langsung tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas salah satu meja. Cepat-cepat aku mengambilnya dan hendak pulang. Kurasa sudah terlalu lama aku berada di sini—di sekolah.

Entah mengapa tiba-tiba aku tertarik pada cahaya senja yang menyusup pada celah celah gorden. Aku menghampiri salah satu jendela dan membuka gorden yang menutupinya. Ah aku tahu. Sepertinya ada satu faktor yang membuatku tertarik pada lembayung di balik jendela ini. Yaitu aku mungkin bisa mendapatkan inspirasi saat melihat bunga-bunga sakura yang bermekaran dan kelopak bunga pink-nya menari bersama angin yang bertiup. Ini 'kan masih awal-awal tahun ajaran baru. Musim semi belum berakhir.

Aku membuka jendela lebar-lebar. Kedua tanganku kutekankan pada kusen jendela. Rambut hitam legamku bergoyang saat angin musim semi membelai wajahku. Aku menatap langit biru yang telah berubah warna menjadi kuning kemerahan—jingga. Kupejamkan mataku. Kuresapi nyamannya suasana petang saat ini.

Menit kemudian, aku membuka kelopak mataku dan mengarahkan pandanganku ke arah bawah—ke lantai satu. Bibirku menyunggingkan seulas senyum tipis. Pohon-pohon di bawah begitu indah. Merah jambu dan putih mendominasi.

Tak sengaja, aku mendapati sesosok makhluk yang berada di bawah pohon sakura. letak pohon tersebut tegak lurus dari jendela di sini. Sosok itu amat indah. Sesosok gadis yang sedang tertidur dengan posisi menyandarkan tubuhnya kepada pohon sakura. Ia terduduk dengan menyelonjorkan kakinya. Aku memandang sosok itu dengan tatapan tak percaya. Makhluk apakah itu? Bidadarikah?
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Tidak. Tidak mugki itu adalah sesosok bidadari. Bidadari tak akan mungkin turun ke bumi hanya untuk tidur di bawah pohon sakura yang berjatuhan. Lagipula, aku tak melihat dua buah sayap membentang di punggunggnya. Bukankah setiap bidadari memiliki sepasang sayap? Lantas, sosok itu pastilah bukan bidadari. Juga, ini dunia nyata. Bukan dunia fiksi.

Pandanganku semakin terfokus padanya. Aku menelisik dirinya. Ia memakai seragam sekolah yang sama denganku. Tentunya tidak sama persis karena itu seragam khas perempuan. Kusimpulkan dengan cepat bahwa ia adalah salah satu dari murid di sekolahku. Sayang. Warna rambut dan wajahnya tak dapat kulihat dengan jelas. Lembayung senja telah menyorot ke arahnya dan wajah itu tertutupi poni dan rambut panjangnya dengan posisi tertunduk. Namun, aku yakin ia pasti memiliki wajah yang sebanding dengan bidadari. Ah, dari tadi sepertinya aku mengumpamakan bidadari. Aku rasa itu semua akibat dari sosok itu yang terlalu sempurna. Ya, dia berulang kali membuatku berdecak kagum.

Detik demi detik, menit demi menit, waktu tak terasa cepat berlalu. Tanpa sadar aku terus memandaginya. Iris mataku seakan-akan tak ingin sedetik pun lepas dari sosoknya.