Naruto
always belong to Masashi
Kishimoto
Guardian © 2014 by MizuRaiNa
SasuSaku // AU //
Oneshot // Romance // Based true story // alilbit OoC // For Airin Nagisa // #1
of #365Stories Project
..
Hari ini bagi Sakura, jika diibaratkan,
sudah jatuh, tertimpa durian—ia sempat terbuai dengan sesosok pemuda yang
berseragam laki-laki di sekolahnya itu—eh malah tertimpa tangga. / Tapi, di
balik kesialan itu tentu ada skenario lain yang diatur Tuhan.
..
Dengan
cepat, seorang gadis bersurai merah muda menalikan tali sepatunya. Roti yang ia
selipkan di antara kedua bibirnya ia ambil lalu berdiri dan merapikan
seragamnya dengan satu tangan.
“Kaa-san, Tou-san, aku
berangkat!” serunya. Ia berlari-lari kecil melirik jam tangan pink yang
melingkar di pergelangan tangannya. Tujuh menit lagi bel masuk berbunyi!
Langkah kakinya semakin dipercepat dan—
Oh tidak!
—ia sampai lupa mengambil jalur yang salah! Seharusnya belok ke kiri, bukan
ke kanan. Pikirannya terlalu fokus mengambil jalur agar cepat sampai di
sekolah.
Ia menepuk jidatnya. Jalur jalan kecil ini selalu ditempati orang gila. Laki-laki berambut ikal agak gondrong
berpakaian hitam compang-camping dengan kresek-kesek berisi-entah-apa-itu ia
bawa ke mana-mana.
Orang-orang memanggilnya Jasuman, tapi ia tak peduli dengan namanya itu. Yang dikhawatirkannya adalah; orang gila itu suka mengejar-ngejar atau mencolek—ia jijik memikirkan hal ini—oppai perempuan yang melewatinya.
Orang-orang memanggilnya Jasuman, tapi ia tak peduli dengan namanya itu. Yang dikhawatirkannya adalah; orang gila itu suka mengejar-ngejar atau mencolek—ia jijik memikirkan hal ini—oppai perempuan yang melewatinya.
Langkahnya ia perlambat untuk mengamati jalur lurus ke jalan raya.
Sampah-sampah kresek bertebaran di sepanjang jalan kecil, karena orang gila
itu. Sejauh matanya memandang sih, sosoknya tak terlihat. Tapi ketika ia
memfokuskan penglihatannya pada perkebunan singkong, ia melihat sesuatu
berwarna hitam berjarak sekitar sepuluh meter darinya.
Jantung Sakura berdegup kencang. Jangan sampai itu—
Glek
Gadis beriris hijau itu menelan ludahnya dengan berat.
—itu memang dia, tiba-tiba berdiri dan—
—berlari ke arahnya!
Tolong! Tolong akuuu! Kami-samaaa,
jangan sampai aku terkejar olehnya aaaa! batinnya menjerit ketakutan,
berlari dengan sekencang-kencangnya sembari menengok ke belakang mengukur
jaraknya dengan orang gila itu.
Oh tidak! Mengerikan! Jasuman
itu menyeringai dan ... jaraknya! Sakura berbelok ke arah kanan, jalan lain yang
menghubungkan dengan jalur satunya itu. Ia tak begitu memperhatikan jalan yang
dilaluinya. Ketika ada seseorang yang baru berbelok dari arah kiri pertigaan—
—bruk!
“Akh!” pekik Sakura. Ia sedikit terjungkal menghantam tanah karena menabrak
orang yang baru berbelok itu. Bukannya meminta maaf, perhatiannya malah tertuju
pada orang gila yang tertawa penuh kemenangan itu, dan malah kembali ke
tempatnya semula.
Grrr, sialan! Dasar orang gila
sialaann! Sebentar. Aku ... menubruk apa? Sakura mengangkat kepalanya,
mendapati sesosok laki-laki beriris obsidian dengan paras yang sungguh luar
biasa tampannya. Bibirnya setengah membuka, dengan mata melebar saking tak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa aku sedang berhalusinasi melihat orang
ini? Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Kau tak apa-apa?” tanya laki-laki itu. Sakura, pemuda di hadapanmu itu
memang nyata!
Sakura berdiri, menepuk-nepuk roknya yang kotor. Ia berdehem kecil,
kemudian menyunggingkan seulas senyum kaku.
“Aku baik-baik saja kok, hehe.” Gugup, gadis itu menggaruk pipinya yang tak
gatal. Ia mengamati laki-laki di hadapannya ini. Ia baru menyadari sesuatu.
Pemuda bersurai biru tua ini memakai seragam yang sama dengannya.
Seragam sekolah. Sekolah?
Tinggal berapa menit lagi bel
masuk berbunyi? Saat ia melihat jam tangannya, hanya tersisa tiga menit.
Tiga menit!
Tiga menit!
“Gomen ne, aku harus berangkat,”
katanya terburu-buru. Sakura berlari secepat yang ia bisa, meninggalkan pemuda
itu dengan dahi berkerut, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi toh, ia tak begitu memikirkan semua itu.
.
.
#
.
.
“Sakura-chan, Forehead-ku sayang,
katanya ada murid baru lho!” seru Ino, teman sebangkunya yang memiliki iris
biru laut dengan surai pirang panjang diikat satu ke atas.
Sakura mendengus, tak peduli. Ia baru saja masuk ke kelas setelah dihukum
berjemur di lapang basket selama setengah jam. Sial sekali ia hari ini. Jika
diibaratkan, sudah jatuh, tertimpa durian—ia sempat terbuai dengan sesosok
pemuda yang berseragam laki-laki di sekolahnya itu—eh malah tertimpa tangga. Ia
perlu beristirahat sejenak dan mendinginkan diri, bukan disambut dengan info
murid baru dari gadis cerewet itu.
“Emang aku peduli?” jawab Sakura ketus. Ia menempelkan kepala dan setengah
tubuhnya pada mejanya. Ino cemberut mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu.
“Masalahnya murid baru kali ini laki-laki! Denger-denger sih, ganteng
banget! Kyaaa aku tak sabar melihatnya!” Ino berteriak histeris. Bahkan kedua
kakinya ikut mengentak-entakkan palang mejanya.
Baru saja Sakura ingin membuka mulut untuk mengatakan terserah, anak-anak
kelas yang di luar berlarian memasuki kelas.
“Kurenai-sensei datang!”
“Ada murid baru!”
“Kyaaa! Tampannya!”
Kelas seketika menjadi bising. Sampai-sampai Sakura menutup kedua
telinganya agar telinganya tak berdengung dipenuhi dengan percakapan
gadis-gadis tentang murid baru itu. Derap langkah sepatu hak tinggi beradu
dengan lantai koridor membungkam mulut semuanya—kelas menjadi hening. Tak
diragukan lagi ke-killer-an guru
perempuan satu itu.
Perempuan langsung histeris dalam hati melihat ketampanan dan pesona dari
siswa baru itu. Tampangnya yang tampan dengan ekspresi cool dan kedua tangan dimasukkan di saku celana. Berbeda dengan
yang lain, Sakura melebarkan bola matanya dan mulutnya terbuka—untung ia
langsung mengatupkannya kembali.
Dialah sosok misterius yang menghantui pikirannya sedari tadi!
“Uchiha-san, perkenalkan dirimu,”
ucap Kurenai. Ia berjalan lalu duduk di meja guru.
“Saya Uchiha Sasuke. Tinggal di Lingkungan Dahlia.” Pemuda itu hanya
mengenalkan diri secara singkat. Kurenai mempersilahkannya duduk di bangku
kosong—kebetulan siswa di kelas ini ganjil jadi sekarang tak ada lagi bangku
kosong yang tersisa.
Ketika melewati bangku Sakura, onyx dan
emerald bertemu pandang selama
beberapa saat. Sontak, Sakura mengalihkan tatapannya pada Kurenai yang mulai
membuka buku agendanya. Menyembunyikan semburat tipis yang tampak di pipi gadis
itu.
Sakura bertanya-tanya dalam hati. Apa tadi ... Sasuke menyunggingkan seulas
senyum tipis padanya? Atau itu hanya perasaannya saja?
Ino melirik ke arah Kurenai yang tak memperhatikan ke arah bangkunya, lalu
menyenggol pelan tangan Sakura dengan sikutnya. “Psstt Forehead, kubilang juga
apa! Dia kereen kyaa!” bisik Ino setengah memekik. Untung saja suaranya agak
teredam dengan suara-suara lain yang juga mendiskusikan Sasuke.
Brak
Bunyi penghapus papan tulis menghantam meja seketika membuat mulut-mulut
yang berucap terkunci rapat. Mereka langsung merinding membayangkan Kurenai
marah besar karena kericuhan mereka.
“Kerjakan. Soal. Di buku paket. Halaman seratus lima puluh satu. Kerjakan.
Sekarang juga!” Kurenai memberikan penekanan kepada kata-kata yang
diucapkannya. Seakan dikomando, siswa-siswi langsung saja membuka halaman yang
diperintahkan Kurenai dengan bulu kuduk merinding,
Sakura melirik sekilas ke arah Sasuke. Senyuman mengembang di bibirnya.
Lingkungan Dahlia ya ... mungkin
dekat dengan rumahku. Di pelajaran matematika, baru kali ini seorang Haruno
Sakura mengukir senyum sepanjang jam pelajaran berlangsung.
.
.
#
.
.
Waktu berputar tak pernah Sakura rasa secepat ini. Tak seperti hari-hari
biasanya ia yang hanya bisa terkantuk-kantuk ketika belajar matematika atau
sejarah Jepang. Ia lebih asyik memperhatikan pemuda yang duduk di banjar
samping kanan barisan kedua itu. Ketika bel pulang berbunyi, ia mengeluh dalam
hati. Ia ingin bisa menatap pemuda itu lebih lama lagi.
Tapi apa mau dikata. Siswa-siswi harus pulang, begitu pun dengannya. Yeah,
setelah piket tentunya—hari ini ia kebagian membersihkan kelas.
Selesai menyapu kelas, gadis bubble-gum
itu menyampirkan tas ke pundaknya. Ia berdiri, melangkahkan kaki keluar
kelas. Tunggu dulu. Ia teringat sesuatu. Kepalanya menoleh, melirik ke arah
bangku Sasuke.
Tasnya masih ada, pemuda itu belum pulang. Padahal tadinya ia pikir ia bisa pulang bareng. Sakura tersenyum hambar. Harapannya ternyata tak terkabul. Walaupun begitu, ia cukup senang karena ia dan Sasuke sedikit berbincang-bincang tentang kepindahannya ke Lingkungan Dahlia—membuat Ino iri karena dia berada di Lingkungan Melati, jauh dari Lingkungan Dahlia.
Tasnya masih ada, pemuda itu belum pulang. Padahal tadinya ia pikir ia bisa pulang bareng. Sakura tersenyum hambar. Harapannya ternyata tak terkabul. Walaupun begitu, ia cukup senang karena ia dan Sasuke sedikit berbincang-bincang tentang kepindahannya ke Lingkungan Dahlia—membuat Ino iri karena dia berada di Lingkungan Melati, jauh dari Lingkungan Dahlia.
.
.
#
.
.
Sampai di jalur kedua—jalur pertama itu yang lurus hingga ke jalan raya—Sakura
menghentikan langkah kakinya. Ia tak ingin salah mengambil jalan seperti tadi
pagi. Ia memantapkan hatinya untuk berbelok ke jalur kedua itu. Masih
aman-aman, tak ada tanda-tanda keberadaan orang gila itu.
Sakura menghela napas lega. Dengan langkah ringan ia telah sampai di
pertigaan ke jalur pertama, mengambil jalan berbelok ke arah kanan. Ketika aku
melewati dua buah rumah yang berada di samping-samping jalan kecil ini, aku
menghentikan langkahku. Bola mataku beredar ke rumpun singkong, mengira-ngira
ia mungkin ada di sana. Tapi nihil. Tak ada.
Yang benar saja! Di mana dia?! Jangan bilang—
—Jasuman memang sedang berbaring terlentang di teras rumah samping kiri.
Sakura melangkah mundur. What the
hell! Bagaimana mungkin ia melewatinya? Bagaimana ... jika orang gila itu
tiba-tiba bangun dan mengejar-ngejar dia lagi? Oh tidak, makasih. Ia sudah
kapok dua kali dikejar orang gila.
Ia tersentak dan bergidik ngeri saat kedua tangan menggenggam lengan
atasnya. Sontak membuat langkah mundurnya terhenti.
“Hei, tenanglah. Teruskan jalanmu.” Suara bariton di belakangnya terdengar
tak asing. Ia menoleh dan ... itu memang suara Sasuke!
Mencerna kata-kata Sasuke membuat Sakura kembali mengamati orang gila itu.
Tetap saja mengerikan!
“A-aku takut.” Entah ada angin apa hingga seorang Haruno Sakura bicara
terbata-bata dengan nada kegugupan terselip di dalamnya.
“Tak akan apa-apa kok,” ucap Sasuke. Ia mendorong lengan Sakura sehingga
mau tak mau Sakura melangkahkan kakinya.
Gadis itu memejamkan matanya saat melewati Jasumon, tak ingin melihat
sedikit pun gerakan kecil orang gila itu apalagi mengejarnya. Langkah demi
langkah ia lalui dengan dada berdebar-debar, detak jantung bertalu-talu seolah
akan keluar dari tempatnya. Bukan. Bukan karena orang gila yang ternyata sedang
tidur itu. Tapi karena lelaki di belakangnya!
Sungguh, baru kali ini ia—hampir—didekap oleh seorang laki-laki selain
ayahnya. Penglihatannya yang tertutup membuat indra penciuman, peraba dan
pendengarannya menajam. Ia bisa mendengarkan dengan jelas detak jantung Sasuke
yang begitu teratur. Aroma parfum yang telah bercampur dengan keringat pemuda
itu dengan mudah tercium olehnya. Deru napasnya pun terasa hangat di kulit
kepalanya. Dan ... jangan lewatkan punggungnya yang berbalut seragam beberapa
kali bergesekan dengan dada pemuda itu!
Hell, ia bisa mati kehabisan napas
dan serangan jantung mendadak saat ini juga!
Tapi cengkraman itu mengendur, dan jemarinya terlepas dari lengan atas
gadis itu. Sakura membuka mata, mengerjapkannya beberapa kali. Sudah sampai di akhir
jalur pertama. Ia mengeluh dalam hati. Ah, rasanya waktu berlalu cepat sekali.
Mereka berdua berjalan berdampingan. Beberapa saat dalam diam, hingga
Sakura berinisiatif membuka suara.
“Arigatou Sasuke-k—” Buru-buru Sakura menutup mulutnya.
Hampir saja ia menambahkan suffix kun di
belakang nama pemuda itu. Nama kecilnya pula.
“Panggil aku begitu saja.” Ingin sekali Sakura menjerit dalam hati. Pemuda
itu tak sedingin tampangnya yang berekspresi datar itu!
Sakura tersenyum kegirangan. “Tentu, Sasuke-kun.” Jeda sebentar, Sakura melihat jalan kecil ke rumahnya
sebentar lagi. Ia jadi teringat ia tak tahu di mana Sasuke tinggal di mana.
“Sasuke-kun, kau tinggal di mana?”
“Rumah yang ditempati Taka-san.” Sakura mengangguk-angguk. Rumah Taka-san hanya berjarak tak lebih dari sepuluh meter dari rumahnya. Jadi setiap hari, kemungkinan mereka kebetulan berangkat dan pulang bersama cukup besar.
“Sakura, kau takut dengan orang gila itu?”
“Yap. Orang gila kribo sepertinya suka ngejar-ngejar perempuan, sih.” Bibir gadis itu sedikit maju ke depan, membayangkan pengalamannya tadi pagi yang begitu buruk.
“Tadi pagi juga begitu,” gumam Sakura pada dirinya sendiri, yang tanpa ia sadari terdengar juga oleh Sasuke.
“Kalau mau, aku bisa berangkat dan pulang bersamamu,” tawar pemuda itu.
Demi apa Uchiha Sasuke mengucapkan sederet kalimat itu? Seseorang tolong, pukul jidat Sakura sekarang juga agar ia tak berdelusi Sasuke mengajaknya berangkat dan pulang bareng.
Sakura melirik Sasuke. Jantungnya berdetak semakin menggila saat ia melihat Sasuke melengkungkan seulas senyum di bibirnya! Ugh, semoga ia tak kena serangan jantung.
“Bagaimana?” tanya Sasuke, meyakinkan.
“Tentu saja aku mau!” Saking bahagianya, ia memeluk pemuda itu. Sasuke tak banyak bereaksi karena tak menyangka Sakura akan memeluknya. Menit kemudian, ia tersadar atas kelakukan bodohnya dan secepat mungkin melepaskan pelukannya.
“Hehehehe, gomen. Aku terlalu senang—ups.” Ah, Sakura, kau memang tak bisa menyembunyikan apa yang ada di pikiranmu.
“Rumahmu, di mana?” Sakura langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia menepuk jidatnya. Ya ampun! Sudah kelewat!
“Ano, rumahku kelewat, hehe. Masuk ke gang sana.” Ia menunjukkan gang kecil yang hanya terdapat beberapa rumah di gang itu, jalan buntu. “Sampai ketemu besok ya! Jaa~”
“Hn.”
Sakura, hari-hari berikutnya, kau tak akan diganggu atau dikerjar oleh orang gila itu lagi. Karena Sasuke, akan melindungimu.
.
.
.
.
.
—FIN
Tolong sayaaaa. Tolong singkirkan
orang gila itu dari jalan menuju jalan raya. Tolooong, saya kapok dikejar-kejar
sama si Jasman itu ;;___;; coba ada cowok yg kaya Sasuke u,u #syudah
#janganngayalnak
Pelisss, reader tinggalkan
jejak ya :3
.
Regards,
MizuRaiNa